News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kawin Tangkap di Sumba: Dinilai Langgar Hak Perempuan dan Anak, Dianggap Tak Relevan Lagi

Penulis: Pravitri Retno Widyastuti
Editor: Garudea Prabawati
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Aksi kawin tangkap di Sumba Barat Daya, NTT, yang viral di media sosial. Saat ini, kawin tangkap tidak lagi dianggap relevan. Bahkan, menurut KemenPPPA, kawin tangkap melanggar hak perempuan dan anak.

TRIBUNNEWS.com - Video yang memperlihatkan aksi sejumlah pria menculik perempuan di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT), viral di media sosial.

Rupanya, aksi tersebut merupakan bagian dari tradisi kawin tangkap.

Sosok pengantin pria yang ikut menculik si wanita, DM (20), adalah Yohanis Bili Tanggu, warga Desa Wekura, Kecamatan Wewewa Barat, Sumba Barat Daya.

Dua belah pihak keluarga, baik dari mempelai laki-laki maupun perempuan, menyatakan kawin tangkap dilakukan berdasarkan kesepakatan mereka, namun tanpa sepengetahuan DM.

Sementara, Yohanis mengaku ia hanya mengikuti perjodohan dengan DM yang diinisiasi orang tuanya.

Baca juga: Kawin tangkap terulang lagi di Sumba, mengapa kekerasan berdalih tradisi ini perlu dihapus?

Dikutip dari Pos-Kupang.com, buntut tradisi kawin tangkap itu, empat pelaku dan korban diperiksa di Polres Sumba Barat Daya, Sabtu (9/9/2023).

Diketahui, tradisi kawin tangkap sendiri menuai pro dan kontra dari sejumlah pihak lantaran dianggap melanggar hak perempuan dan anak, serta tak relevan lagi saat ini.

Apa itu kawin tangkap?

Dikutip dari Jurnal Sagacity berjudul Tradisi Kawin Tangkap di Sumba, NTT: Perspektif Filsagat Moral Emmanuel Kant (2022), kawin tangkap adalah salah satu tradisi pernikahan di Sumba, khususnya di wilayah Kodi dan Wewewa.

Bagi masyarakat Sumba, tradisi kawin tangkap diyakini merupakan bagian budaya yang diwariskan nenek moyang secara turun-temurun.

Menurut tradisi, kawin tangkap sebenarnya dilakukan oleh pihak pria yang berasal dari keluarga kaya.

Kawin tangkap lantas dilakukan untuk menggelar pernikahan tanpa lewat peminangan atau kesepakatan kedua belah pihak calon pengantin terkait mahar atau belis.

Dengan kata lain, prosesi ini terjadi tanpa persetujuan salah satu pihak.

Meski demikian, kawin tangkap dilaksanakan atas kesepakatan orang tua laki-laki dan orang tua perempuan, tanpa sepengetahuan perempuan.

Biasanya, kawin tangkap dilatarbelakangi berbagai macam motif, salah satunya masalah ekonomi dan relasi kekuasaan.

Sebagai contoh untuk masalah ekonomi, biasanya keluarga pihak perempuan berutang pada keluarga laki-laki, sehingga anak perempuan mereka dijadikan tebusan.

Selain itu, menurut Jurnal Qualita berjudul Kawin Tangkap (Studi Sosiologi tentang Makna dan Praktik Kawin Tangkap di Desa Marela Kalada, Kec. Wewewa Timur, Kab. Sumba Barat Daya (2021), kawin tangkap juga dilatarbelakangi alasan kekerabatan.

Biasanya, saat melaksanakan kawin tangkap, ada penggunaan simbol-simbol seperti kuda diikat atau emas yang diletakkan di bawah bantal.

Secara umum, cara melakukan kawin tangkap adalah dengan meminta perempuan pergi ke pasar atau tempat umum lainnya.

Baca juga: Kementerian PPPA Sebut Kasus Kawin Tangkap di Sumba Barat Daya Masuk Kategori Tindakan Kriminal

Di tempat itu, sudah disiapkan beberapa laki-laki untuk menangkap atau menculik perempuan tersebut.

Lantas, si perempuan dinaikkan ke atas kuda dan dibawa lari ke rumah calon suaminya.

Setelahnya, pihak orang tua laki-laki memberikan satu ekor kuda dan sebuah parang khas Sumba kepada orang tua perempuan sebagai tanda permintaan maaf.

Kuda dan parang itu juga sekaligus menjadi penanda atau memberi informasi, bahwa calon pengantin wanita sudah berada di pihak laki-laki.

Dianggap melanggar hak perempuan dan anak

Peristiwa kawin tangkap terjadi di Waimangura Wewewa Barat SBD, Kamis (7/9/2023) siang. Polsek Wewewa Barat mengamankan 4 orang pelaku kawin tangkap di wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kamis (7/9/2023). (Tangkapan layar FB Daniel Umbu Pati)

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menilai kasus kawin tangkap dapat mencederai hak perempuan.

Menurut Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA, Ratna Susianawati, kawin tangkap sudah seharusnya dihentikan untuk melindungi perempuan dari kekerasan.

“Kasus seperti ini tentu mencederai hak perempuan untuk hidup aman tanpa kekerasan."

"Kasus kawin tangkap terjadi sebagai pergesekan dalam aspek budaya yang sudah sepatutnya kita hentikan bersama demi melindungi para perempuan dari kekerasan seksual berbalut budaya," ujar Ratna melalui keterangan tertulis, Sabtu (9/9/2023).

Kawin tangkap, kata Ratna, merupakan bentuk penculikan dan kekerasan terhadap perempuan.

Dirinya menilai perbuatan ini dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal dan bukan bagian dari adat.

"Selain itu, ada peranan relasi kuasa dalam kasus-kasus kawin tangkap yang tidak selayaknya dilanggengkan,” ujar Ratna.

KemenPPPA sendiri sudah menyoroti soal kawin tangkap sejak lama lantaran dianggap mengandung unsur kekerasan dan eksploitasi.

Khususnya, pada tradisi kawin tangkap yang tak sesuai adat dan merugikan pihak perempuan, juga anak.

Baca juga: Kronologi Viral Kawin Tangkap di Sumba, Korban Teriak Minta Tolong, Pelaku Akui Ikut Perjodohan

Meski menjadi tradisi turun-temurun, kawin tangkap nyatanya dianggap melanggar hak perempuan dan anak.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) sejak lama menilai tradisi tersebut mengandung unsur kekerasan dan eksploitasi.

Dikutip dari situs resmi KemenPPPA, kawin tangkap pada praktiknya berpotensi melanggar hak perempuan dan anak, menimbulkan kekerasan yang berlapis pada korban, hingga memicu dampak traumatis pada korban.

Terlebih, jika perempuan yang menjadi korban masih berusia anak-anak.

Menindaklanjuti peningkatan perlindungan terhadap perempuan dan anak terkait kawin tangkap, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) bersama Pemprov NTT, Pemda Kabupaten, dan Kapolres se-Sumba, menandatangani Nota Kesepahaman Bersama (Memorandum of Understanding/MOU) Kerja Sama Peningkatan Perlindungan Perempuan dan Anak di Kabupaten Sedaratan Sumba, pada Juli 2020.

MOU itu lantas kembali disinggung oleh Ratna Susianawati.

"Untuk itu, kami mohon aparat penegak hukum untuk menindak tegas setiap praktik kawin tangkap."

"Jangan sampai alasan tradisi budaya dipakai hanya sebagai kedok untuk melecehkan perempuan dan anak," kata Ratna.

Ratna mengatakan, selain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kasus ini dapat dijerat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yaitu Pasal 4 ayat (1) huruf e jo Pasal 10.

Sudah tidak relevan

Ilustrasi pernikahan (Freepik)

Antropolog dari Universitas Katolik Weetabula, Pater Doni Kleden, menilai tradisi budaya kawin tangkap sudah tidak relevan lagi sesuai kondisi sekarang.

Pada konteks zaman dahulu, kata Doni, kawin tangkap sah secara adat.

Namun, menurut Doni, saat ini konteks dan kebutuhan sudah berubah, dimana salah satunya adalah kebutuhan manusia untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri, termasuk jodoh.

Ia melihat tradisi kawin tangkap tidak lagi mencerminkan memenuhi kebutuhan manusia, tetapi justru melanggar hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Baca juga: Soal Viral Kawin Tangkap di Sumba, Dikecam Pemerintah Daerah hingga Disebut Bukan Budaya Lokal

"Karena itu menjadi tugas bersama kita semua, baik pemerintah, lembaga agama, LSM, dan berbagai elemen masyarakat daerah ini harus gencar melakukan sosialisasi hingga menyasar semua masyarakat yang tinggal di kampung-kampung dan daerah terpelosok sekalipun."

"Bahwa kawin tangkap sudah tidak relevan lagi dan sudah tidak dibenarkan lagi karena melanggar hukum dan hak asasi manusia (HAM)," ujar dia, Sabtu (9/9/2023).

Lebih lanjut, Doni menilai kawin tangkap di Pulau Sumba terjadi dengan beberapa alasan.

Pertama, kawin tangkap terjadi karena antara perempuan dan laki-laki saling mengetahui, tetapi salah satu pihak dalam hal ini pihak perempuan tidak setuju.

Selain itu, kawin paksa terjadi dimana kedua orang tua saling mengetahui, tetapi anak perempuan tidak tahu.

Juga, kedua belah pihak orang tua saling mengetahui, termasuk anak perempuan dan laki-laki, namun mereka merancang terjadinya kawin tangkap.

Untuk alasan ini, para pihak ingin menunjukan kekuatannya bisa menangkap anak perempuan orang dan siap membayar mahar berapapun yang dituntut pihak perempuan.

Namun, seiring perubahan zaman, kawin tangkap dianggap lebih baik tidak boleh terjadi karena melanggar kebebasan seseorang, hukum dan HAM.

Sebagian artikel ini telah tayang di Pos-Kupang.com dengan judul Antropolog Pater Doni Kleden Sebut Tradisi Kawin Tangkap di Sumba Sudah Tak Relevan Lagi

(Tribunnews.com/Pravitri Retno W/Fahdi Fahlevi, Pos-Kupang.com/Petrus Piter)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini