News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Relokasi di Pulau Rempang

Kala Warga Rempang Menangis Pilu Tak Ingin Direlokasi: Ini Pusaka Nenek Moyang

Penulis: Jayanti TriUtami
Editor: Suci BangunDS
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Warga Pulau Rempang bernama Sarah (kiri), dan momen warga Pulau Rempang menyambut 8 pemuda yang sempat ditahan seusai kerusuhan di BP Batam. Warga Pulau Rempang mengaku enggan direlokasi meski harus ditembak mati.

TRIBUNNEWS.COM - Tangis warga Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, pecah saat terus dipaksa meninggalkan tanah leluhurnya untuk proyek Rempang Eco City.

Warga Pulau Rempang diharuskan mengosongkan wilayahnya sampai tanggal 28 September 2023.

Seorang warga bernama Sarah pun tak kuasa menahan tangisnya saat meluapkan amarah karena terus didesak meninggalkan rumahnya.

Sarah dan warga Pulau Rempang lainnya bersikukuh enggan meninggalkan tanah leluhurnya.

Baca juga: Penanganan Konflik Pulau Rempang Disebut Tidak Melanggar HAM

Tangis pilu warga Pulau Rempang itu terlihat dalam tayangan FAKTA tvOne, Rabu (12/8/2023).

"Kami tidak dikasih tahu mau direlokasi, tiba-tiba disuruh pindah tanggal 28 (September 2024 -red), kami macam anak ayam aja, ayam dipindah aja ada rumahnya," ucap seorang warga.

Menambahi ucapan warga tersebut, Sarah lantas meluapkan kekesalannya terhadap keputusan pemerintah merelokasi warga demi membangun proyek yang digadang-gadang bisa mendatangkan investasi bernilai fantastis.

Sarah mengaku tidak akan pernah meninggalkan Pulau Rempang.

"Saya sedih diusir dari kampung halaman sendiri," ujar Sarah sembari menangis.

"Kami tak mau keluar, walaupun ditembak mati, kami tak mau kau kuasai kampung kami."

"Pak Jokowi, kami tak mau keluar dari kampung kami," imbuhnya.

Baca juga: Sosok Amsakar Achmad, Wakil Wali Kota Batam yang Istrinya Diperiksa Soal Rempang, Ini Kekayaannya

Sarah dan warga Pulau Rempang lainnya memiliki alasan kuat untuk tidak meninggalkan tanah kelahirannya.

Bukan karena uang, Sarah menyebut akan mempertahankan tanah Pulau Rempang yang menjadi warisan nenek moyangnya.

"Kami diri kami sudah dijatuhkan betul-betul, kami dihina, diinjak," ujar Sarah.

"Ini bukan tanah, ini tanah nenek moyang kami. Kami tidak beli, ini pusaka nenek moyang kami," imbuhnya.

Pendemo lakukan pelemparan saat berada di kantor BP Batam pada Senin (12/9/2023). (DOK BP BATAM)

Baca juga: Menteri Bahlil Klaim Masyarakat Rempang Setujui Investasi Xinyi Rp 174 Triliun

Meski warga menolak keras, pemerintah terus berupaya merelokasi penghuni Pulau Rempang.

Bahkan, pendaftaran relokasi tahap I bagi warga Pulau Rempang dijadwalkan berakhir pada Rabu (20/9/2023).

Namun, banyak warga yang memilih tetap bertahan di Pula Rempang.

“Jangan kami diintervensi. Sampai sekarang kami tak mau daptar, kalau kami daptar ke posko artinya kami menyerah. Kami masih bertahan di kampung kami, kami tak mau direlokasi,” ujar seorang warga Kampung Tua Pasir Panjang, Launidin, dikutip dari TribunBatam.id, Selasa (19/9/2023).

Baca juga: Segini Ganti Rugi Warga Pulau Rempang yang Tak Mau Pindah, Bahlil Jelaskan Perhitungan Pemerintah

Sementara itu, Kepala Biro Humas, Promosi dan Protokol BP Batam, Ariasuty Sirait mengklaim sudah ada lebih dari 100 kepala keluarga yang mendaftar ke posko relokasi.

Meski begitu, Ariastuty tak menyebutkan secara rinci angka pastinya.

Luhut Binsar Berharap Investor Tak Terpengaruh Bentrok Rempang

Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan berharap perusahaan China yang berinvestasi ke Rempang Eco City tidak mencabut investasinya.

Luhut berharap, perusahaan China tidak terpengaruh dengen kerusuhan di Rempang.

Untuk diketahui, perusahaan Xinyi Group asal China disebut akan berinvestasi ke Pulau Rempang sebesar 11,5 miliar dolar AS atau senilai Rp 172 triliun.

"Ya kita harapkan janganlah. Dulu kan kekonyolan kita (membuat investor, red) lari ke tempat lain," ungkap Luhut, Rabu (20/9/2023).

"Jadi kita sendiri juga harus introspeksi apa yang salah. Kita tidak boleh malu-malu. Kalau kita salah ya kita perbaiki."

Menkopolhukam Mahfud MD Minta Aparat Hati-hati Tangani Masalah Rempang

Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Polhukam), Mahfud MD, meminta aparat penegak hukum dan keamanan untuk hati-hati dalam menangani kasus di Rempang, Kepulauan Riau.

"Oleh sebab itu saya berharap kepada aparat penegak hukum, aparat keamanan supaya berhati-hati menangani ini," katanya usai rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (11/9/2023).

Mahfud juga meminta aparat untuk mensosialisasikan mengenai adanya kesepakatan pada 6 September antara Pemda, pengembang, DPRD, dan masyarakat.

Lebih lanjut, Mahfud mengatakan, masalah hukum konflik lahan tersebut sebenarnya sudah selesai.

Jelaskan Kronologi Masalah

Mahfud MD menjelakan, bahwa pada tahun 2001-2002, telah diputuskan adanya pengembangan kawasan wisata di pulau-pulau yang terlepas dari pulau induknya, satu di antaranya pulau Rempang.

Lantas, pada 2004, ditandatangani kesepakatan antara Pemda atau BP Batam dengan pengembang atau investor untuk mengembangkan pulau pulau tersebut.

Namun, sebelum kesepakatan tersebut dijalankan, sudah dikeluarkan lagi izin-izin kepada pihak lain.

Izin-izin baru yang dikeluarkan sesudah MoU tersebut, kemudian dibatalkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Pada sada saat pengembang yang sudah menjalin kesepakatan pada 2004 lalu akan memulai kegiatan, lahannya sudah digunakan oleh pihak lain.

"Nah ketika akan masuk, di situ sudah ada kegiatan, sudah ada penghuni lama dan seterusnya, dan seterusnya," katanya.

Konflik kemudian terjadi karena adanya perintah pengosongan oleh pengembang yang akan memulai kegiatannya di wilayah tersebut.

Lantas, kata Mahfud, dijalin lah kesepakatan antara Pengembang, Pemda, dan dan masyarakat pada 6 September kemarin.

Kesepakatan tersebut, yakni warga yang mendiami lahan tersebut direlokasi.

Nantinya, setiap kepala keluarga diberi tanah 500 meter persegi dan dibangunkan rumah dengan ukuran (tipe) 45 sebesar Rp 120 juta setiap kepala keluarga.

Selain direlokasi, setiap keluarga mendapatkan uang tunggu sebelum relokasi sebesar Rp 1.034.000.

Lalu diberi uang sewa rumah sambil menunggu rumah yang dibangun, masing-masing Rp 1 juta.

Sementara untuk relokasi 1200 kepala keluarga, kata Mahfud, dilakukan ke tempat yang tidak jauh dari pantai.

Permasalahannya, menurut Mahfud, kesepakatan tersebut belum terinformasikan baik kepada masyarakat. Ditambah adanya provokasi kepada masyarakat dan telah diamankan pihak kepolisian.

(Tribunnews.com/Jayanti Tri Utami, Endrapta Ibrahim, Taufik Ismail) (TribunBatam.id/Dewi Haryati)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini