News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Mahasiswa Lintas Kampus di Sulteng Gelar Mimbar Demokrasi, Ini yang Disuarakan

Penulis: Erik S
Editor: Eko Sutriyanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ribuan mahasiswa di Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng) menggelar Mimbar Demokrasi di halaman kampus Unazlam Palu, Jumat (1/12/2023).      

Laporan Wartawan Tribunnews.com Erik Sinaga 

TRIBUNNEWS.COM, PALU - Ribuan mahasiswa di Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng) menggelar Mimbar Demokrasi di halaman kampus Unazlam Palu, Jumat (1/12/2023).

Ketua Pelaksana Mimbar Demokrasi Moh Idham menegaskan, kegiatan ini diikuti 5.000 mahasiswa dan rakyat Sulteng.

Dia mengajak para mahasiswa dan rakyat menjaga demokrasi dan menolak politik dinasti dan pelanggar HAM.

"Begitu banyak ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Kita punya keresahan yang sama. Negara kita tidak lagi berpihak pada masyarakat. Tidak berpihak kepada petani dan nelayan. Tetapi kami bersyukur masih ada aktivis perempuan yang masih melawan,“ tegasnya dalam keterangan tertulis.

Mimbar demokrasi ini juga menampilkan para orator dari aktivis 98 seperti Ariyanto Sangaji, Deddy Irawan, dan Dedi Askary. Mereka bergantian berorasi dengan juniornya mahasiswa perwakilan dari perguruan tinggi yang ada di Kota Palu, seperti dari Universitas Tadulako (Untad), Universitas Alkhairaat (Unisa), Poltekes, dan beberapa perguruan tinggi lainnya.

Baca juga: PRP Sulteng Dorong Pendidikan Berkualitas Bisa Dinikmati Semua Lapisan Masyarakat

Ketua Yayasan Panca Bakti Palu, Ir. H. Rendy Afandi Lamadjido, MBA juga ikut menyampaikan orasinya dalam kegiatan tersebut. Rendy merasa sangat bangga masih ada mahasiswa di era milenial ini menghimpun kekuatan melawan kekuasaan yang mulai melenceng dari titah Reformasi 1998.

“Kekuatan mahasiswa melawan rejim itu tugas mulia. Melihat kesewenang-wenangan. Maka perlu dilahirkan gerakan mahasiswa sebagai kontrol terhadap jalannya pemerintahan, “ tegas Rendy.

Direktur Yayasan Tanah Merdeka, Aryanto Sangaji, yang juga aktivis 98 menegaskan bahwa telah terjadi kesewenangan dalam penegakan hukum di Indonesia saat ini. 

Mahkamah Konstitusi (MK) telah dipaksa memunculkan anak Presiden sebagai calon Wakil Presiden (Cawapres). Ini nepotisme. Kita hajar KKN seperti di era Orba.

“Ini kegiatan Mimbar Demokrasi saya setuju. Bahwa mahasiswa itu masih ada, berjuang bersama-sama rakyat. Juga, masih banyak perempuan yang kuat melawan, “ imbuhnya.

Sebelumnya diberitakan, para mahasiswa dan rakyat di sejumlah daerah juga secara estafet melakukan mimbar demokrasi beberapa waktu belakangan. Mulai dari Jawa Timur, Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, hingga Sulawesi Tengah. Mereka sepakat menolak politik dinasti dan kebangkitan neo orba.

Aksi di Yogyakarta

Sebelumnya ribuan mahasiswa dari 35 kampus di Yogyakarta turun ke jalan dalam aksi protes tersebut. Khusus di kawasan Tugu Yogyakarta, sebagian mahasiswa terlihat menggelar aksi unjuk rasa dengan mengenakan topeng Guy Fawkes atau topeng kelompok anonimus.

Koordinator mahasiswa dalam aksi di Tugu Yogyakarta, Ahmad Kholil menyebut penggunaan topeng anonimus merupakan simbolisasi perlawanan terhadap elite politik yang antidemokrasi.

Selain putusan MK, Kholil memaparkan sejumlah dosa elite politik yang perlahan-lahan membunuh demokrasi, mulai dari pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja.

"Pemerintah tidak pernah merespons aksi mahasiswa dan masyarakat. Omnibus Law bagi kami melanggar konstitusi. Pelemahan KPK melanggar konstitusi dan putusan MK terkait batas usia itu juga melanggar konstitusi," ujar mahasiswa Universitas Gadjah Mada itu.

Kegelisahan anak muda

Analis politik dari Universitas Krisnadwipayana, Ade Reza Hariyadi angkat bicara terkait aksi protes sejumlah elemen mahasiswa di Yogyakarta.

Dirinya menilai aksi kelompok mahasiswa mulai gerah dengan manuver-manuver politik penguasa.

"Ini menjadi kegelisahan anak-anak muda terdidik dan juga sebagai bentuk koreksi terhadap perilaku para elite yang memperebutkan kekuasaan ini keluar dari pakem-pakem yang ditentukan dalam konstitusi," kata Ade kepada wartawan, Selasa (28/11/2023).

Selain di kawasan Tugu Yogyakarta, aksi unjuk rasa juga digelar di kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogya.

Khusus di ISI, mahasiswa dan elemen masyarakat menggelar mimbar demokrasi bertajuk 'Mahasiswa Bersama Rakyat Tolak Politik Dinasti dan Pelanggar HAM'.

Sebagian mahasiswa terlihat menutupi wajah mereka dengan topeng kertas bergambar Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman yang disilang merah.

Pemakaian topeng-topeng itu dimaksudkan untuk mengkritik skandal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90/PPU-XXI/2023.

Putusan nomor 90 diketok Ketua MK Anwar Usman, Oktober lalu.

Isi putusan merevisi syarat usia bagi calon capres-cawapres yang tertuang dalam UU Pemilu.

MK membolehkan calon yang belum berusia 40 tahun untuk berkompetisi menjadi capres dan cawapres asalkan pernah dipilih jadi kepala daerah.

Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi mendadak memenuhi syarat sebagai cawapres.

Saat putusan itu dirilis, Gibran masih berusia 36 tahun.

Anwar ialah besan Jokowi alias paman Gibran.

Ade mengapresiasi sikap kritis kelompok mahasiswa di Yogy namun  pesimistis gelombang protes bakal membesar.

Pasalnya, isu politik dinasti Jokowi dan skandal putusan MK merupakan konsumsi elite yang tidak terkait langsung dengan kehidupan masyarakat.

Untuk menjaga nafas gerakan, Ade menyarankan agar kelompok mahasiswa berkolaborasi dengan kaum buruh.

Saat ini, serikat-serikat buruh sedang resah dengan aturan kenaikan upah yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan.

PP itu dianggap tak mengakomodasi kepentingan kaum buruh.

Pasalnya, kenaikan upah minimum provinsi (UMP) yang dimandatkan PP itu jauh dari ekspektasi kaum buruh, yakni kisaran 5-8 persen. Serikat buruh sebelumnya ingin agar upah buruh naik sekitar 15%.

"Sejauh ini, gerakan ini masih sangat parsial. Kalau (keresahan kaum buruh) ini bisa direspons dan diakselerasi kelompok-kelompok mahasiswa di berbagai wilayah, maka ini bisa jadi salah satu faktor akselerasi gerakan yang lebih besar," ucap Ade.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini