TRIBUNNEWS.COM - Di sebuah rumah di Kota M, tangan-tangan para perempuan itu begitu cekatan dalam melinting tembakau ke dalam kertas.
Dengan menggunakan kebaya, para perempuan itu duduk berjajar rapi di kursi, terlihat santai dalam menghasilkan tiap batang kretek.
Tangan kanan para perempuan itu menjimpit tembakau yang telah diracik halus nan lembut untuk ditempatkan di atas alat linting manual.
Tangan kirinya mengambil kertas pelinting lalu ditempatkan di atas alas kain alat penggiling. Setelah dirasa pas, tangan kanannya kemudian memegang gagang alat, digerakkan ke bawah sampai tembakau tadi terlinting dalam kertas.
Begitulah sebuah scene yang ada di serial film Gadis Kretek yang diadaptasi dari novel karya Ratih Kumala dengan judul yang sama.
Euforia serial film Gadis Kretek dirasakan masyarakat Indonesia selama bulan November di penghujung 2023.
Film itu menceritakan tentang perjuangan Jeng Yah alias Dasiyah dalam mengembangkan bisnis sigaret kretek tangan (SKT) yang mengambil latar belakang di Muntilan, Magelang, Jawa Tengah.
Film yang berlatar waktu tahun 1960an ini menjadi bukti kretek telah eksis sejak masa lalu.
Baca juga: Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia Nilai Idealnya Cukai Sigaret Kretek Tangan Tidak Naik
Kretek juga tercatat dalam kisah Rara Mendhut di jaman Kerajaan Mataram Islam, seperti termuat dalam Serat Pranacitra yang dikemudian diadaptasi menjadi novel oleh Romo Mangun.
Kebiasaan menghisap asap tembakau bisa jadi karena meniru kebiasaan kalangan atas masyarakat Eropa pada abad ke-15.
Namun masyarakat lokal berinovasi dan mengembangkannya. Yang membedakan dalam hal ini adalah ramuan saus yang terkandung dalam kretek.
Seperti halnya yang yang terdapat dalam film Gadis Kretek, di mana saus kretek serta campurannya dapat memberi perbedaan cita rasa dalam setiap lintingannya.
Dalam buku Kretek Pusaka Nusantara (2013) karya Thomas Sunaryo disebut, selain penggunaan cengkeh dan saus penyedap merupakan ciri khas rokok kretek yang hanya ada di Indonesia.