Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, BALI - Sosok Jeihan bukanlah seniman lukis sembarangan.
Namanya cukup dikenal di dalam dan di luar negeri sebagao pelukis figuratif karena karya-karyanya yang luar biasa.
Bahkan, Jeihan merupakan salah satu sosok penting dalam perjalanan sejarah seni rupa Indonesia modern.
Baca juga: Karya Lukisan Tidak hanya Bernilai Estetik, Tapi Juga Berfungsi Religius, Komersial dan Simbolis
Tidak diragukan, karya-karyanya tak hanya dikoleksi kolektor seni Tanah Air, tapi juga mancanegara.
Konsistensi melukis selama 50 tahun lebih dengan tehnik dan ciri khas figur “mata hitam” milik Jeihan sudah teruji oleh waktu dan menjadi koleksi wajib kolektor seni.
Untuk mengenal lebih karya Jeihan ini, G3N Project x Studio Jeihan menggelar pameran tunggal bertajuk Solo Exhibition: Jeihan and The New Indonesian di Museum Puri Lukisan Ubud, Bali yang akan digelar hingga 5 Januari 2024 mendatang yang dibuka oleh Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I Gede Arya Sugiartha.
General Manager G3N Project Andry Ismaya Permadi mengatakan, seluruh lukisan karya Jeihan yang merupakan koleksi dari G3N Project dan koleksi dari kolektor seni Daniel Jusuf itu tertata dengan rapi dan runtut, mulai dari karya terlama Jeihan sekitar tahun 1950-an, hingga yang terbaru karya 2016.
"Kami menyebutnya, pameran retrospektif, dimana kita bisa melihat karya Jeihan di era sebelum figur dengan "mata hitam" muncul.
Ini sekaligus menjawab keraguan banyak orang, yang mengira jika tokoh "mata hitam" atau "black eye" yang menjadi ciri khas Jeihan muncul karena ketidakmampuan Jeihan mengekspresikan objek lukisnya lewat mata," kata Andry disela-sela pembukaan pameran, Minggu (10/12/2023).
Dalam pameran tunggal dengan 64 karya terbaik Jeihan tersebut, G3N Project tidak lupa turut menyumbangkan satu karya sang maestro untuk Museum Puri Lukisan Ubud.
Baca juga: Italia Buka Kamar Rahasia Seniman Michelangelo, Berisi Lukisan Masa Renaissance
Lukisan cat minyak dengan dimensi 98 cm x 80 cm karya 1969 itu diserahkan langsung kepada Penglingsir Puri Agung Ubud Tjokorda Gde Putra Sukowati untuk disumbangkan kepada Museum Puri Lukisan Ubud.
Kolektor seni Daniel Jusuf berharap, pemberian satu buah karya Jeihan itu mampu menambah koleksi berharga di Museum Puri Lukisan Ubud. Apalagi, Jeihan sendiri merupakan seniman lukis yang sangat penting dalam perjalanan seni rupa modern di Indonesia.
"Rasanya, tidak lengkap jika kolektor seni belum memiliki lukisan karya Jeihan. Sebab, hanya segelintir seniman yang mampu mempertahankan ciri khasnya di berbagai zaman," imbuh Daniel.
Anak kedua Jeihan yang juga mengikuti jejak sang ayah sebagai seniman, Azasi Adi menambahkan, kebanyakan seniman sering kehilangan ciri khas jika berhadapan dengan pasar.
Banyak seniman dengan mudah ikut arus tren, menanggalkan idealisme, untuk memuaskan kebutuhan pasar, yang ujung-ujungnya bicara soal periuk nasi.
"Bapak saya satu dari segelintir seniman yang bertahan dengan ciri khas, style melukisnya selama 50 tahun hingga tutup usia. Bapak saya pandai mempengaruhi orang, pandai "berdagang", mungkin karena beliau berdarah Tionghoa ya.
Jadi, Bapak itu menjual karya-karyanya sendiri tanpa bantuan dari galeri seni. Lama-lama pasar "dipaksa" menerima karya beliau, bukan beliau yang mengikuti maunya pasar. Itulah hebatnya Bapak," pujinya, mengenang sosok sang ayah yang memiliki nama Tionghoa Lim Tjeng Han itu.
Baca juga: Pameran Lukisan Dorong Gerakan Pemberdayaan Perempuan di Daerah
Ciri khas sosok "mata hitam" Jeihan, yang juga menjadi lukisan pertama yang dilihat pengunjung di Museum Puri Lukisan Ubud berjudul "Aku", adalah sebuah potret diri Jeihan yang melukis dirinya dengan selaput mata hitam kelam. Lukisan tersebut dibuat saat Jeihan masih menjadi mahasiswa seni rupa di Institut Teknologi Bandung pada 1963.
Lukisan inilah yang membuat Jeihan dikenal sebagai pelukis figur manusia bermata hitam. "Mata hitam" khas Jeihan merupakan metafora penting yang bisa dimaknai dengan berbagai cara.
Mata hitam bisa memberi kesan pandangan yang dingin, hampa, dan nyaris tanpa harapan. Sosok "mata hitam" juga bisa dimaknai sebagai mata batin, menyemburkan aura mistik dalam karya-karya Jeihan.
Jeihan di Mata Kurator Seni Rupa Indonesia Jean Couteau
Bagi Jean Couteau, Jeihan merupakan salah satu maestro lukis Indonesia yang berhasil "mendobrak" pakem yang umum lahir di era itu. Ia tidak terjebak pada karya yang memfokuskan diri pada "identitas kelompok", seperti yang dilakukan seniman di masa itu, di era menuju kemerdekaan.
Jeihan dinilai unik, karena mampu menterjemahkan situasi politik saat itu, dengan konsep yang tak biasa.
Sang seniman yang tutup usia pada 2019 lalu itu, tidak "terbawa arus" seperti pelukis lain kala itu yang mengangkat problematika politik, antusias memotret euforia kemerdekaan, sikap antipenjajah, dan karya yang menonjolkan spirit membangun persaudaraan, bahkan karya yang mengajak masyarakat untuk merayakan kebebasan sebagai bangsa merdeka.
"Jeihan tidak memiliki antusiasme yang sama dalam mengekspresikan jiwa kolektif ini. Karena keyakinannya untuk menterjemahkan pemikirannya yang unik, kita jadi bisa mendapatkan satu gambaran yang berbeda tentang seni rupa Indonesia, hari ini," puji Kurator Seni Rupa Indonesia Jean Couteau, dalam pembukaan "Solo Exhibition: Jeihan and The New Indonesian".
Baca juga: Pameran Lukisan Dorong Gerakan Pemberdayaan Perempuan di Daerah
Bagi Jean, karya Jeihan seperti ada di babak yang berbeda, meski lahir di era kemerdekaan. Sang kurator menarik sedikit ke belakang, mengajak pengunjung dan kolektor seni melihat masa kecil sang maestro lukis.
"Jeihan mengalami hidup di zaman perang. Ia bahkan pernah koma saat berusia sekitar 4 tahun akibat kecelakaan hebat yang dialami di rumah salah seorang kerabatnya. Jeihan kecil yang mengalami cedera kepala hebat harus menarik diri dari pergaulan dan bahkan putus sekolah," kisah Jean.