Walaupun diakui hingga kini belum ada penelitian lalat di Kintamani yang hinggap di makanan ataupun minuman akan menyebabkan penyakit.
"Lalat yang ada di Kintamani ini bukan lalat bangkai, melainkan hanya lalat biasa. Cuma memang menyebabkan tamu komplain. Berbagai daya dan upaya sudah dilakukan pihak restoran, seperti menyalakan lilin. Tapi akan tetapi hasilnya nihil," katanya.
Tawarkan Solusi
Lanjut Jero Tindih, meningkatnya populasi lalat merupakan fenomena alam.
Karenanya sebagai solusi, ia menyarankan agar pemerintah daerah melepaskan burung ataupun predator alami untuk memakan lalat.
Jero Tindih mencontohkan seperti hama tikus di Tabanan.
Pemerintah Kabupaten sekitar melawan hama tersebut dengan cara melepaskan burung hantu (celepuk) yang merupakan predator alaminya.
"Kalau menurut saya, karena ini merupakan siklus alam, maka harus dilawan dengan alam juga. Artinya buyung di Kintamani harus dilawan dengan burung yang merupakan predator alaminya. Tentunya dibarengi dengan aturan daerah, terkait pelarangan memburu burung tersebut," ucapnya.
Baca juga: Rest Area Cibubur Gunakan Lalat Tentara Hitam Buat Olah Limbah Organik
Disamping itu sebagai solusi jangka panjang, pihaknya meminta agar penanganan lalat dilakukan dari hulu ke hilir.
Mulai dari pembinaan kepada petani terhadap pemakaian pupuk mentah, termasuk juga pembinaan kepada masyarakat mengenai hidup bersih.
Banyaknya Lalat di Kintamani Merupakan Fenomena Biasa
Terpisah, Kepala Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, dan Perikanan (PKP) Bangli, I Wayan Sarma mengatakan, banyaknya lalat di Kintamani merupakan fenomena biasa.
Namun pada musim-musim tertentu, memang terjadi peningkatan populasi.
"Biasanya terjadi pada akhir tahun. Yakni dari bulan November hingga Maret, saat musim buah di Kintamani," ucapnya
Selain disebabkan oleh musim, peningkatan populasi lalat di Kintamani salah satunya diperkirakan akibat penggunaan limbah ternak sebagai pupuk.
Sarma menjelaskan limbah ternak berupa sekam kotoran ayam broiler, semestinya lebih dulu melalui proses fermentasi sebelum dimanfaatkan sebagai pupuk.