Selain karena alasan permintaan orang tua, ia ingin mengaplikasikan ilmu yang didapat untuk membantu warga di kampung halamannya.
Pada 2017, Bidan Dini lantas mendapat tawaran dari Damianus Nangge, Kepala Desa Uzuzozo saat itu untuk bertugas di desanya.
Sebab selama ini, tak pernah ada orang yang mau menjadi tenaga kesehatan di Uzuzozo. Akses yang sulit dan tak ada sinyal kala itu, menjadi alasan.
Hanya diiming-imingi seekor anjing sebagai DP sekaligus gaji pertama, Dini menerima tawaran tersebut.
"Saya punya keresahan sebagai anak muda yang belajar dan bersekolah di luar, saya ingin bikin sesuatu di kampung," ungkap Dini seraya menambahkan, dirinya digaji menggunakan Dana Desa yang cairnya setiap 6 bulan atau satu tahun sekali.
Saat memulai sebagai tenaga kesehatan di Desa Uzuzozo, perjalanan Bidan Dini seperti mulai dari nol. Sejumlah masalah kesehatan begitu kompleks, layaknya fenomena gunung es.
Tak ada data berapa jumlah ibu yang sedang hamil. Tidak ada kegiatan posyandu, imunisasi, atau kegiatan pelayanan kesehatan dasar bagi ibu-anak.
Sanitasi Total Berbasis Masyakarat (STBM) carut marut karena perilaku buang air besar masih banyak dilakukan di sungai.
Begitu juga dengan pemantauan kesehatan warga lainnya. Hampir sebagian warga di sana menjalani pengobatan secara tradisional.
Penyebabnya, akses menuju ke puskesmas di kecamatan memakan waktu sekira 1,5 jam dan sulitnya moda transportasi.
Oleh karena itu, hampir semua ibu hamil tidak pernah menjalani pemeriksaan kesehatan seperti USG. Alhasil mereka tidak mendapatkan vitamin atau obat.
Mereka pun melahirkan di rumah dengan bantuan dukun bersalin, tanpa prosedur kesehatan serta alat-alat yang steril.
"Sebelum saya datang, memang ada kasus seperti kematian ibu atau bayi yang baru dilahirkan. Hanya saja tidak diketahui angka kematiannya, karena tidak didata," ujarnya.
Belum lagi, Dini berhadapan dengan banyaknya mitos dan kepercayaan seputar kesehatan yang selama ini diyakini.