TRIBUNNEWS.COM - Bidan Theresia Dwiaudina (28) tengah melintasi jalan setapak berbatu di tengah hutan saat seorang lelaki tua bernama Opa Gabriel memanggil namanya.
"Ibu... berhenti sebentar," seru Opa Gabriel.
Mendengar namanya dipanggil, perempuan yang kerap disapa Bidan Dini itu menghentikan laju motornya.
Bidan desa yang bertugas di Desa Uzuzozo, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) lantas mendekati Opa Gabriel.
Ia menanyakan darimana saja sosok pria tua yang memakai kaus bergaris dan beralaskan sandal jepit itu di tengah siang hari nan terik.
Opa Gabriel menjawab, ia baru saja kembali dari rumah Bidan Dini di Desa Kekandere untuk meminta obat. Namun, Bidan Dini malah sudah berangkat ke Kampung Ndetukedho, Desa Uzuzozo.
Tak ingin pulang dengan tangan kosong, Opa Gabriel yang merupakan warga Kampung Ndetuwaru berinisiatif menunggu Bidan Dini sembari berjalan pelan-pelan di antara rasa sakitnya.
Ia berharap dapat berjumpa Bidan Dini di tengah perjalanan. Benar saja, suara khas dari motor yang dikendarai Bidan Dini terdengar dari kejauhan.
"Tapi kan Opa bisa minta tolong siapa begitu untuk telepon, pulang dari Ndetukedho, baru saya ke Ndetuwaru. Tidak apa-apa," kata Bidan Dini.
Opa Gabriel menolaknya. Ia takut, bidan kesayangan warga Desa Uzuzozo itu capek lantaran harus bolak-balik.
Tak ingin berlama-lama, Bidan Dini pun membuka praktik di tengah jalan dan memeriksa Opa Gabriel. Ia juga memberi obat yang dibutuhkan sebelum berpisah.
Baca juga: Pemerintah Harus Memastikan Setiap Anak Lahir Sehat dan Bebas Stunting
Beberapa menit setelah perpisahan itu, Bidan Dini menelepon warga Ndetuwaru untuk memastikan keadaan Opa Gabriel.
"Opa Gebi sudah tiba, Ibu. Sementara sudah makan, mau minum obat," kata warga. Lega hati Dini mendengar kabar tersebut.
Ya, beginilah gambaran keseharian Bidan Dini yang selama tujuh tahun ini mengabdi sebagai tenaga kesehatan di Desa Uzuzozo, sebuah desa terpencil di NTT.
Secara geografis, Desa Uzozozo dikelilingi hutan, sungai besar yang kerap meluap saat musim hujan, serta kawasan perbukitan.
Tak ada jalan beraspal di desa yang terbentuk pada 2007 ini. Hanya ada jalan rabat beton yang dibangun warga untuk membuka ruang isolasi wilayah.
Berdasarkan Hasil Sensus Penduduk 2020, Desa Uzozozo dihuni 366 orang yang mendiami 3 dusun dan 3 anak kampung.
Bidan Dini adalah bidan pertama sekaligus satu-satunya tenaga kesehatan yang bertugas di Uzuzozo.
Ia tak hanya bertanggungjawab pada kesehatan ibu-anak. Namun juga warga lanjut usia (lansia), remaja, hingga masalah jambanisasi pun diurusnya.
Dalam melakukan pelayanannya, Bidan Dini melakukan jemput bola dari rumah satu ke rumah lain setiap hari. Mengandalkan sepeda motor, ia berpindah lokasi dari Ndetukedho, Ndetuwaru, Gomo, Paureno, dan Kapeka.
Namun jika jalanan tak bisa dilalui karena banjir, pohon tumbang, atau jembatan rusak, ia harus berjalan kaki. Bidan Dini pun selalu siaga 24 jam.
Oleh karena itu, Dini selalu menjadi orang yang pertama kali dicari warga Desa Uzuzozo saat membutuhkan pertolongan kesehatan. Salah satunya oleh Opa Gabriel.
Masalah bak Fenomena Gunung Es
Jika ditarik ke belakang, Dini tak pernah bercita-cita sebagai bidan. Perempuan kelahiran 24 Maret 1996 itu tertarik menggeluti dunia pendidikan.
Meski di satu sisi, ia juga menggemari seni dan sempat ingin melanjutkan pendidikan di bidang tersebut.
Namun kedua orangtuanya, Herlina dan Kanisius meminta sulung dari empat bersaudara itu untuk melanjutkan kuliah di bidang kesehatan.
"Latar belakang orang tua saya petani. Ada harapan besar dari orangtua agar saya bisa lanjut kuliah di kesehatan," ujarnya kepada Tribunnews.com.
Pada 2013, Dini merantau ke Surabaya untuk kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (Stikes) Surabaya dan mengambil jurusan kebidanan.
Tiga tahun setelahnya, Dini berhasil menamatkan pendidikan. Meski mendapat tawaran untuk bekerja di Surabaya, Dini memilih kembali ke kampung halamannya di Desa Kekandere, Kecamatan Nangapanda.
Selain karena alasan permintaan orang tua, ia ingin mengaplikasikan ilmu yang didapat untuk membantu warga di kampung halamannya.
Pada 2017, Bidan Dini lantas mendapat tawaran dari Damianus Nangge, Kepala Desa Uzuzozo saat itu untuk bertugas di desanya.
Sebab selama ini, tak pernah ada orang yang mau menjadi tenaga kesehatan di Uzuzozo. Akses yang sulit dan tak ada sinyal kala itu, menjadi alasan.
Hanya diiming-imingi seekor anjing sebagai DP sekaligus gaji pertama, Dini menerima tawaran tersebut.
"Saya punya keresahan sebagai anak muda yang belajar dan bersekolah di luar, saya ingin bikin sesuatu di kampung," ungkap Dini seraya menambahkan, dirinya digaji menggunakan Dana Desa yang cairnya setiap 6 bulan atau satu tahun sekali.
Saat memulai sebagai tenaga kesehatan di Desa Uzuzozo, perjalanan Bidan Dini seperti mulai dari nol. Sejumlah masalah kesehatan begitu kompleks, layaknya fenomena gunung es.
Tak ada data berapa jumlah ibu yang sedang hamil. Tidak ada kegiatan posyandu, imunisasi, atau kegiatan pelayanan kesehatan dasar bagi ibu-anak.
Sanitasi Total Berbasis Masyakarat (STBM) carut marut karena perilaku buang air besar masih banyak dilakukan di sungai.
Begitu juga dengan pemantauan kesehatan warga lainnya. Hampir sebagian warga di sana menjalani pengobatan secara tradisional.
Penyebabnya, akses menuju ke puskesmas di kecamatan memakan waktu sekira 1,5 jam dan sulitnya moda transportasi.
Oleh karena itu, hampir semua ibu hamil tidak pernah menjalani pemeriksaan kesehatan seperti USG. Alhasil mereka tidak mendapatkan vitamin atau obat.
Mereka pun melahirkan di rumah dengan bantuan dukun bersalin, tanpa prosedur kesehatan serta alat-alat yang steril.
"Sebelum saya datang, memang ada kasus seperti kematian ibu atau bayi yang baru dilahirkan. Hanya saja tidak diketahui angka kematiannya, karena tidak didata," ujarnya.
Belum lagi, Dini berhadapan dengan banyaknya mitos dan kepercayaan seputar kesehatan yang selama ini diyakini.
Namun, hal itu tak meruntuhkan tekad Dini mengabdi di Uzuzozo. Ia tetap datang, membawa sejumlah program kesehatan dan perubahan besar. Secara perlahan, Dini melakukan revolusi kesehatan besar-besaran pada warga.
Meski berstatus sebagai 'anak kampung sebelah', toh, kedatangan Dini tetap mendapat penolakan. Ia sempat dianggap sebagai ancaman bagi dukun bersalin lantaran dianggap merebut mata pencaharian mereka.
"Pasti ditolak saat pertama masuk kampung. Apalagi saya belum punya anak, belum punya suami. Mereka berpikir, anak ini buat apa di sini? Memangnya dia siapa sampai ngatur-ngatur kita," ujar Dini yang kala itu masih berusia 22 tahun.
Tak patah arang, Bidan Dini melakukan pendekatan. Ia mendatangi rumah-rumah warga, mendata siapa saja yang hamil, sekaligus memeriksa kondisi kesehatan mereka dan anak-anak.
Ia tak sungkan menyambangi warga hingga ke tengah ladang dan kebun untuk memberikan edukasi seputar kesehatan. Ia mengajarkan tentang pola asuh yang baik, hingga makanan kaya nutrisi dan bergizi bagi ibu hamil, ibu menyusui, dan anak-anak.
Bidan Dini juga menggelar kegiatan posyandu dan pemeriksaan kesehatan rutin selama sebulan sekali dengan menumpang teras rumah warga. Semua orang pun boleh datang, meski hanya sekadar cek tensi.
Sebagai daya tarik, ia menggelar senam sehat bagi lansia. "Ini jadi hal baru yang mereka peroleh, kayak, wah di sana ada senam. Habis senam, tensi, timbang barat badan, makan kacang. Jadi dalam sehari itu, mereka tidak usah aktivitas di kebun dan di rumah," ungkap dia.
Di sela-sela kegiatan itu, mereka akan berbincang-bincang sembari berbagi kabar dan informasi seputar kesehatan. Dini mengajak ibu hamil untuk melahirkan di fasilitas kesehatan dan didampingi bidan atau tenaga kesehatan.
Agar dukun bersalin tak tersinggung, Bidan Dini juga mendekati mereka. Kepada mama dukun, begitu mereka disapa, Bidan Dini menampik anggapan akan mengambil alih pekerjaan.
Ia justru menawarkan konsep kolaborasi. Di mana ia akan mengurus persalinan, sedangkan mama dukun menangani bayi.
Memang butuh waktu lama, tapi akhirnya pendekatan yang dilakukannya berhasil. Perlahan-lahan, ia diterima dengan tangan terbuka oleh warga.
Cara lain yang kerap ia lakukan adalah meminta testimoni dari setiap pasien yang menerima penanganan kesehatan.
"Misalnya ada ibu yang punya tujuh anak, enam-enamnya lahir di dukun dan yang terakhir kita bawa ke fasilitas kesehatan. Ketika pulang, saya minta coba cerita ke ibu-ibu yang lain, enak mana lahir di dukun sama lahir di fasilitas kesehatan," kisah Bidan Dini.
Nah, lewat testimoni yang menyebar dari mulut ke mulut itu, kebiasaan warga mulai berubah. Hingga akhirnya kini, tidak ada lagi ibu hamil yang melahirkan di rumah.
Hampir semua persalinan dilakukan di puskesmas atau di poskesdes. Meski beberapa kali pernah terjadi di tengah perjalanan menuju fasilitas kesehatan.
Selain itu, semua ibu hamil dan ibu yang baru saja melahirkan mendapat pemeriksaan kesehatan langsung dari Bidan Dini.
"Selama saya bekerja dari 2017 sampai hari ini, belum ada kasus kematian ibu atau bayi selama dan setelah kehamilan dan persalinan," tambahnya.
Begitu juga dengan program imunisasi, obat cacing, dan vitamin bagi anak-anak yang dulu hampir tak pernah dilakukan, kini rutin digelar.
Ia melakukan pendekatan pada anak-anak dan orangtua. Kepada anak-anak, ia mengatakan, imunisasi akan membuat tubuh mereka kekar dan kuat.
Sementara pada para orang tua, ia mencari jalan tengah terkait mitos yang selama ini dipercaya. Jika jarum suntik yang digunakan untuk imunisasi ditancapkan di pohon berair seperti pisang, maka dapat mengurangi efek samping imunisasi berupa demam.
"Jadi setelah saya mengimunisasi anaknya, ibunya akan mengambil jarum suntik lalu ditancapkan ke pohon. Nanti sebelum pulang, saya cabut lagi dan disimpan di tempat aman agar tidak dipakai untuk main," ujar dia.
Cara tersebut rupanya berhasil. Perlahan, tingkat cakupan imunisasi anak-anak Desa Uzozozo mengalami kenaikan.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayanan kesehatan, Dini mengakui, tidak ingin mengurangi nilai-nilai tradisi atau budaya yang selama ini dianut warga.
"Saya cari jalan tengahnya biar sama-sama enak, menyatukan apa yang menjadi ilmu saya dan persepsi yang mereka punya, jadi di dalam bekerja pun tidak ada yang saling menyakiti. Justru saya berkolaborasi dengan kebudayaan dan adat setempat sepanjang tidak mengganggu medis sama sekali," katanya.
Program kesehatan lain yang dilakukan Bidan Dini juga menyasar para remaja yaitu berupa pemberian tablet darah. Ia turut melakukan edukasi tentang kesehatan remaja. Aktif di kegiatan gereja membuatnya lebih mudah dekat dengan remaja.
Kolaborasi Lintas Sektor
Dalam menjalankan program revolusi kesehatan itu, Dini tak menampik adanya kerjasama lintas sektor dengan banyak pihak. Salah satunya dari pihak desa.
Bahkan demi mendukung program kesehatan yang dijalankan Dini, pihak desa mengeluarkan sejumlah aturan.
Misalnya ada denda bagi warga yang melahirkan di rumah, tanpa ada pendampingan dari tenaga kesehatan.
"Lalu untuk program jambanisasi, pihak desa juga membuat aturan, misal ada yang mendapat bantuan dari pemerintah, uang yang diterima bisa dipakai untuk bikin jamban. Jadi tidak dipakai untuk kebutuhan lain," katanya.
Atas usaha dan kerja kerasnya tersebut, kini sebagian besar masyarakat Desa Uzozozo telah teredukasi dalam bidang kesehatan. Termasuk mama dukun yang kini malah menjadi sahabat sekaligus informannya.
"Termasuk jika ada apa-apa dengan ibu hamil, mama dukunnya langsung kasih tahu saya," kata dia.
Peran kader kesehatan di kegiatan posyandu juga sangat membantu kerja Bidan Dini. Mereka ikut memantau tumbuh kembang anak-anak, meski keputusan akhir atau hasil evaluasi tetap ada di tangan Bidan Dini.
Meski masih ada satu-dua warga yang menolaknya, tapi Dini tak gentar. Ia tetap berusaha agar kehadirannya dianggap ada.
Tak hanya itu, Dini juga mendapatkan sejumlah penghargaan. Salah satunya datang dari Kementerian Dalam Negeri dan Organisasi Aksi Solidaritas Era Kabinet Indonesia Maju (OASE KIM) pada peringatan Hari Kartini 2024.
Dini dinobatkan sebagai sosok perempuan yang berjasa dan berprestasi dari NTT. Penghargaan itu pun diberikan oleh Ibu Negara saat itu, Iriana Joko Widodo (Jokowi) bersama Wury Estu Handayani di Surakarta pada 16 Mei 2024.
Dini tak menyangka apa yang dilakukannya di sebuah desa terpencil, jauh dari gemerlap, ternyata mampu memikat banyak kalangan. Ia pun mendapat sorotan dan panggung yang lebih luas atas aksinya tersebut.
"Nggak menyangka, desa paling belakang malah yang membawa saya ke tempat yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya," kata Dini.
Baginya, segala penghargaan itu adalah wujud tanggung jawab yang disyukuri dan dilanjutnya. Oleh karena itu, ia berharap, dapat terus mengembangkan program-program tersebut ke platform yang lebih luas sehingga dapat menebar manfaat bagi banyak orang.
Kehadiran Dini yang disebut sebagai sang dewi kesehatan ini dirasakan betul oleh Mama Anastasia. Ibunda dari si kembar Dortenisna Kara dan Febrihariana Karaini mengaku sangat terbantu dengan pelayanan kesehatan secara door to door oleh Bidan Dini.
Ia tak perlu menempuh jarak yang begitu jauh untuk dapat mengakses layanan kesehatan.
"Sungguh beruntung punya Ibu Dini di sini. Anak-anak bisa dapat imunisasi lengkap, vitamin, dipantau tumbuh kembangnya," kata dia.
Senada, Kepala Desa Uzuzozo saat ini, Iwan Ray juga mengungkap dampak besar berkat pengabdian tak kenal lelah dari Bidan Dini.
Salah satunya angka stunting atau tengkes di desanya turun drastis selama 3 tahun terakhir hingga mencapai 80 persen.
"Tercatat dari 2019 ada 15 orang, kini tersisa 3 anak," kata dia.
Baik Dini maupun Iwan Ray berharap, agar lebih banyak lagi peran serta dari sejumlah pihak dalam pencegahan stunting, utamanya di desa-desa terpencil.
"Jadi untuk kesejahteraan desa-desa ini bisa lebih diperhatikan lagi, entah dari pemerhati atau masyarakatnya. Apapun yang terjadi, keberhasilan sebuah negara dari komunitas-komunitas terkecil ini, apalagi sebuah desa," kata dia. (*)