TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus guru honorer Supriyani di Konawe Selatan, Sulawesi Selatan, menyita perhatian banyak pihak.
Kasus tersebut kini sudah masuk ke dalam persidangan di Pengadilan Negeri Andoolo.
Guru Sekolah Dasar itu dituduh melakukan penganiayaan atau kekerasan terhadap siswanya yang merupakan anak polisi, di Konawe Selatan.
Namun, Supriyani membantah tuduhan tersebut karena dirinya hanya menegur murit yang bertindah bandel.
Praktisi hukum dan juga pengacara, Boris Tampubolon mengatakan, dalam konteks hukum pidana, seseorang hanya bisa dihukum bila ada niat jahat (mens rea) dan actus reus (perbuatan).
Baca juga: Meski Supriyani dan Aipda WH Didamaikan, Persidangan Tetap Berjalan, Pengacara: Tak Bisa Dicampuri
"Harus kedua-duanya. Tidak bisa hanya salah satu. Bisa saja seseorang itu melakukan perbuatan, tapi tidak ada niat jahatnya. Maka ia tidak bisa dipidana," kata Boris dikutip Rabu (6/11/2024).
Ia menjelaskan, dalam konteks guru, bisa dlihat apa yang menjadi tugas guru, apa niat jahat guru harus menganiaya muridnya? Apa motiv jahatnya disitu? Bila ada, maka tugas Jaksa Penuntut Umum (JPU) harus membuktikan itu.
"Bila tidak bisa dibuktikan mens reanya. Maka Guru Supriyani tidak bisa dipidana. Artinya Hakim harus membebaskan Guru Supriyani," ucap Boris.
Ia pun mengingatkan kasus guru sebelum-sebelumnya, di mana pada 2014 Mahkamah Agung pernah membebaskan guru yang dituduh melakukan perbuatan tidak menyenangkan kepada muridnya karena guru tersebut memotong rambut muridnya yang panjang.
Dalam Putusan No. 1554 K/Pid/2013 tersebut Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa:
“Disamping sebagai guru, Terdakwa diberikan tugas untuk mendisiplinkan para siswa yang rambutnya sudah panjang/gondrong, menatatertibkan para siswa; Bahwa apa yang yang dilakukan Terdakwa adalah sudah menjadi tugasnya, dan bukan merupakan suatu tindak pidana, dan Terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatan/tindakannya tersebut, karena bertujuan untuk mendidik agar menjadi murid yang baik dan disiplin”
Boris menyampaikan, dalam putusan itu jelas terlihat tidak ada mens rea, atau niat jahat dari si guru.
"Niat si guru adalah untuk mendisiplinkan dan mendidik agar murid menjadi baik dan disiplin. Sebab ada tugas guru untuk mendidik dan mendisiplinkan murid," kata pendiri kantor hukum Dalimunthe and Tampubolon Lawyers (DNT Lawyers) itu.
"Begitu juga dengan niat guru Supriyani yang menyatakan hanya menegur murid yang bertingkah bandel," sambungnya.
Hadirkan Saksi Ahli
Pada 4 November 2024, sidang kasus guru Supriyani kembali dilanjutkan di Pengadilan Negeri Andoolo.
Sidang kelima ini mengagendakan mendengar keterangan dari dua saksi ahli dan satu saksi lainnya.
Saksi ahli yang dihadirkan oleh kuasa hukum Supriyani adalah mantan Kabareskrim Polri, Komjen Pol (Purn) Susno Duadji, dan pakar psikologi forensik, Reza Indragiri.
Selain itu, kuasa hukum juga menghadirkan Kepala Desa Wonua Raya, Rokiman, yang terkait dengan permintaan uang damai sebesar Rp50 juta dari penyidik Polsek Baito.
7 Polisi Diperiksa
Kasus Supriyani menyeret sejumlah anggota Polri.
Sedikitnya, tujuh polisi telah diperiksa Propam Polda Sulawesi Tenggara (Sultra).
Kabid Humas Polda Sultra, Kombes Pol Iis Kristian mengatakan, dua dari tujuh polisi yang diperiksa terindikasi memeras Supriyani.
Dua polisi itu adalah Kapolsek Baito, Ipda IM dan Kanit Reskrim, AM, melansir TribunnewsSultra.com.
"Dari keterangan-keterangan itu, Propam akan melanjutkan pemeriksaan kode etik terhadap oknum yang terindikasi meminta uang sejumlah Rp2 juta yaitu oknum Kapolsek dan Kanit Reskrim Polsek Baito yang baru," katanya.
Sementara lima lainnya yakni Kanit Intel Polsek Baito, Kasat Reskrim Polres Konsel, Kasi Propam Polres Konsel, Kabag Sumda, dan mantan Kanit Reskrim Polsek Baito.
Propam Polda Sultra, Kombes Pol Moch Sholeh mengatakan, pihaknya sudah memeriksa Ipda IM dan AM yang terindikasi melakukan pelanggaran etik kepolisian.
"Jadi saat ini dua oknum anggota tersebut sementara kami mintai keterangan terkait kode etik," ujarnya, Selasa (5/11/2024).
Meski diperiksa, Ipda IM dan AM masih bertugas di Polsek Baito.
Namun, jika keduanya terbukti melakukan pelanggaran, maka akan diberi sanksi tegas berupa surat perintah penahanan khusus (patsus).
"Kalau memang terbukti ada pelanggaran kode etik, kami akan tingkatkan untuk patsus atau ditarik ke Polda Sultra," jelasnya.
Selain tujuh anggota polisi, Propam juga memeriksa Supriyani dan suami, serta Kepala Desa Wonua Raya, Rokiman.
Soal permintaan uang yang diduga dilakukan sejumlah oknum ini, sempat membuat kasus Supriyani menjadi rumit.
Sebelumnya, Propam Polda Sultra telah memeriksa Kepala Desa Wonua Raya, Rokiman.
Rokiman membenarkan terkait permintaan uang itu. Awalnya, kata dia, didasari inisiatif Kanit Reskrim Polsek Baito.
Adapula dugaan campur tangan Kapolsek Baito yang meminta Kades Wonua Raya berbicara hal yang tak sebenarnya.
Kuasa hukum Supriyani, Andri Darmawan juga mengungkap adanya dugaan oknum kepolisian yang meminta uang kepada Supriyani.
Menurutnya, permintaan uang bukan hanya untuk menghentikan kasus, tetapi juga penangguhan penahanan.
Setelah Supriyani ditetapkan sebagai tersangka, ada juga permintaan uang.
Permintaan uang itu dilakukan oleh oknum polisi untuk melakukan penangguhan penahanan.
"Berapa, Rp2 juta, siapa minta, Kapolsek, siapa saksinya, Bu Supriyani dan Pak Desa."
"Sudah diambil uangnya di rumahnya Pak Desa, berapa nilai uangnya, Rp2 juta."
"Uangnya Ibu Supriyani Rp1,5 juta, ditambah uangnya Pak Desa Rp500 ribu," tandasnya.
Tak berhenti di situ, setelah kasus dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri, Andri menyebut, Supriyani kembali dimintai uang penangguhan penahanan oknum jaksa melalui perantara.
"Saat di kejaksaan ditelepon orang dari perlindungan anak, katanya pihak kejaksaan meminta Rp15 juta supaya tidak ditahan," jelasnya.
Namun, Supriyani tak lagi menyanggupi karena tidak memiliki uang.