Tanah tadah hujan di Gunungkidul menjadi tantangan untuk bertahan hidup. Produk olahan lidah buaya adalah jawaban penopang semangat warga bersama, berkarya dan berkelanjutan.
TRIBUNNEWS.COM – Alarm jam berdering selesai Marni merapikan tanaman lidah buaya yang ambruk di pot rumah.
Saat itu jarum jam hendak menuju angka 9, waktunya ia bergegas menuju pabrik olahan lidah buaya Rasane Vera dari UD. Mount Vera Sejati, di Dusun Jeruklegi, Desa Katongan, Kecamatan Nglipar, Gunungkidul, DIY, pada Kamis (7/11/2024).
Pabrik rumahan Mount Vera Sejati hanya berjarak beberapa langkah dari rumah Marni alias bertetangga.
Di situ, Marni sehari-hari bekerja membantu produksi olahan produk lidah buaya.
Sekaligus menyetor pelepah daun lidah buaya hasil tanamnya untuk menjadi bahan baku olahan produk lidah buaya UD. Mount Vera Sejati.
“Assalamualaikum, niki mbeto 20 kilo riyen nggih (ini bawa 20 kilogram dulu ya, Red),” ucap Marni kepada rekan-rekan kerja di UD. Mount Vera Sejati.
Selain bekerja sebagai karyawan, Marni juga merupakan anggota kelompok wanita tani yang sudah bermitra dengan UD. Mount Vera Sejati sejak 2018.
Ia bersama ratusan ibu-ibu antar dusun di Desa Katongan meraup untung sebagai petani mitra untuk merawat dan mengolah produk bernama ilmiah Aloe Vera ini.
Dari hasil menyetor pelepah lidah buaya pagi itu, Marni sudah mengantongi Rp 60 ribu. Per kilogramnya dihargai Rp 3.000 oleh usaha dagang milik Alan Efendhi, yang juga tetangganya.
Ibu satu anak ini juga mendapat upah bekerja di UD. Mount Vera Sejati sebagai pengupas daun lidah buaya, per hari ia mendapat Rp 60-80 ribu tergantung jumlah pelepahnya.
Belum ditambah penghasilan ketika rombongan wisatawan melakukan kunjungan wisata edukasi, ia dapat tambahan upah Rp 100 ribu per hari.
Hasil-hasil yang ia dapatkan tersebut bisa dibilang lebih dari keuntungan semata lantaran sebelumnya Marni terseok-seok menjalani hidup.
Bahkan nasib serupa juga dirasakan oleh para ibu-ibu di dusunnya yang hanya mengandalkan suami pekerja bangunan dan buruh tani.