TRIBUNNEWS.COM - Siang itu, terik matahari tak menyurutkan langkah Hantoro Parwono. Keringat deras mengalir di pelipisnya, menyerap ke dalam kain handuk kecil yang selalu setia di di pundaknya.
Lelaki berusia 47 tahun itu menatap jauh, seolah pikirannya melayang ke tanah yang jauh dari sini, tempat ia mewujudkan mimpi terbesarnya menunaikan ibadah haji.
Hantoro, anak kampung kelahiran 15 Agustus 1977, tumbuh dengan kehidupan sederhana. Sejak muda, ia sudah melakoni pekerjaan berat sebagai kuli bangunan. Ia mulai dari menjadi tukang serabutan, melayani tukang senior mengambil bahan material. Lambat laun, ia belajar memasang bata, mengaci, hingga menjadi tukang batu yang terampil.
Namun, kehidupan tak selalu memihak. Pernah suatu masa, Hantoro mencoba beralih profesi menjadi penjual roti keliling. Dengan semangat ia menawarkan roti semir yang saat itu dihargai hanya Rp250.
Sayangnya, persaingan dengan roti modern membuat usahanya layu sebelum berkembang. "Pelanggan makin berkurang, saya akhirnya kembali ke pekerjaan bangunan," kenangnya, sambil tersenyum tipis mengingat masa-masa penuh perjuangan itu, ditemui pada Jumat (25/10/2024).
Pada 2001, ia menikah dan kini menjadi ayah dari empat anak. Anak pertamanya telah berusia 22 tahun, sementara si bungsu masih duduk di bangku kelas 5 SD. Di tengah tanggung jawab sebagai kepala keluarga, hidupnya mulai berubah arah ketika ia sering mengantar ibu mertuanya mengikuti pengajian manasik haji pada 2009.
“Awalnya saya cuma mengantar. Tapi lama-kelamaan, saya ikut mendengarkan kajian. Rasanya damai sekali. Lalu, ketika saya menerima koper ibu mertua, saya gemetar. Dalam hati saya berdoa, ‘Ya Allah, kapan koper ini atas nama saya?’” kisahnya dengan mata yang berbinar.
Pada Maret 2012, dengan tekad bulat, Hantoro membuka tabungan haji di Bank Mandiri Syariah. Tabungannya dimulai dengan saldo Rp2 juta, hasil dari jerih payahnya selama berminggu-minggu. “Waktu itu saya bertanya tentang program talangan haji. Ternyata, harus punya saldo minimal Rp5 juta. Jadi saya kerja keras mencari kekurangannya. Alhamdulillah, pada Mei 2012 saldo saya genap,” ujarnya.
Perjuangan baru dimulai. Untuk memenuhi biaya haji yang besar, Hantoro memilih program talangan haji dengan cicilan Rp625 ribu per bulan selama tiga tahun. Padahal, penghasilannya sebagai tukang bangunan hanya sekitar Rp965 ribu per bulan.
“Rasanya berat sekali. Untuk makan empat orang saja pas-pasan. Belum lagi biaya listrik dan sekolah anak. Kadang, untuk makan saja harus benar-benar diatur,” kenangnya.
Keluarga kecilnya pun ikut merasakan dampaknya. “Selama dua-tiga tahun, saya tidak bisa membelikan anak-anak saya baju Lebaran. Kalau ada tukang mi ayam lewat depan rumah, saya cuma bisa mengelus dada,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Namun, Hantoro tidak sendiri. Di tengah keterbatasan, sang istri menjadi pendukung setia yang selalu menguatkannya. “Pernah suatu malam saya curhat ke istri, ‘Dek, gimana ini? Sisa penghasilan kita segini kecil, apa kita sanggup?’ Tapi dia selalu bilang, ‘Gusti Allah pasti menolong kita. Perjuangan ini tidak akan sia-sia.’ Itu yang membuat saya kuat,” ucapnya penuh haru.
Perjalanan Hantoro menuju Tanah Suci tidaklah mulus. Setelah selesai melunasi cicilan talangan haji pada 2015, ia terus menabung untuk mencukupi kekurangan biaya yang terus meningkat. Namun, cobaan datang bertubi-tubi. Istrinya sempat sakit, dan salah satu anaknya harus dirawat di rumah sakit. Tabungan yang seharusnya untuk haji terpaksa digunakan untuk kebutuhan darurat keluarga.
“Terkadang saya merasa lelah. Tapi saya ingat pesan paman saya saat pertama kali daftar haji. Dia bilang, ‘Kamu pasti akan diuji oleh Gusti Allah.’ Ternyata benar. Tapi di setiap ujian itu, Allah selalu memberikan pertolongan,” katanya dengan suara lirih.