TRIBUNNEWS.COM - Siswa berinisial AD (17), teman pelajar SMK N 4 Semarang berinisial GRO (16) yang tewas ditembak polisi mengikuti pra-rekonstruksi kasus ini di dekat perumahan Paramount, Semarang, Jawa Tengah.
AD mengatakan, saat terjadi kasus penembakan, dirinya berboncengan motor bertiga, termasuk dengan GRO.
Awalnya, mereka berkumpul di kamar kos di belakang PLN Krapyak.
Setelah itu bertolak ke Gunungpati untuk melakukan tawuran.
Saat pergi ke lokasi, AD mengaku mereka membawa senjata tajam.
"Tempat ngumpul di PLN Krapyak itu tidak tahu (kamar kos) siapa," ucap AD, dilansir TribunJateng.com, Selasa (26/11/2024).
AD menyebut, mulanya GRO enggan tawuran, tetapi karena lawan menggunakan alat, akhirnya dirinya ikut turun untuk menakut-nakuti lawan.
"Akhirnya mereka mundur," ucap AD.
Menurut AD, dirinya mengenal GRO dari adik kelas.
"Saya tidak ikut gangster, di kejadian ini hanya pertama kali ikut. GRO ikut (gangster)," sambungnya.
Ia menyatakan tak tahu adanya kejadian penembakan terhadap GRO.
Baca juga: Wapres Gibran, Jokowi hingga Ahmad Luthfi Nyoblos di Solo, Andika-Hendi di Semarang
Peristiwa itu terjadi ketika dirinya sedang mengejar tawuran ke arah Gunungpati.
"Saya puter balik ada orang nodong pistol," tuturnya singkat.
Saat keterangan AD akan dikupas lebih dalam oleh awak media, ia kemudian ditarik polisi ke dalam mobil.
"Sudah ya, sudah," kata polisi berkaos preman itu ketika di lokasi.
TribunJateng.com sempat datang ke rumah AD, tetapi pihak keluarga menolak untuk berbicara.
Berdasarkan informasi, AD diperiksa polisi tanpa pendampingan hukum.
"Tentu ada tahapan itu, Ini kan anak berhadapan dengan hukum. Nanti kita memberikan fasilitas pendampingan baik orangtua maupun pengacara," kata Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto.
Ia menyebut, pra-rekontruksi ini untuk memastikan lokasi dan peristiwa terjadi di lapangan.
Tujuannya, untuk memperkaya pemahaman penyidik terhadap peristiwa tersebut.
"Ini kejadian di lapangan betul-betul fakta tidak ada yang ditutupi, transparan," klaimnya.
Adapun dalam peristiwa ini ada tiga orang yang menjadi korban tembak, di mana nyawa dua korban masih tertolong.
Dikecam Kriminolog
Pakar Kriminologi Universitas Diponegoro (Undip), Budi Wicaksono, mengecam insiden penembakan ini.
Menurutnya, tindakan tersebut tidak sesuai prosedur dan melanggar prinsip tindakan tegas yang terukur.
"Harus tembak atas dulu. Kemudian tembak tanah. Jika pelaku masih menyerang, bisa tembak kaki. Tapi menembak langsung ke arah pinggul itu tidak dibenarkan," ujar Budi, Senin.
Ia menekankan, tembakan peringatan bertujuan untuk memberikan jeda dalam situasi membahayakan.
Menurutnya, tak semua penyerangan harus direspons dengan tindakan berupa penembakan langsung.
"Misalnya, saya mendekati polisi tanpa membawa senjata, polisi tidak perlu takut dan langsung melakukan tindakan tegas dengan penembakan."
"Maksud saya, jika kejadiannya membahayakan nyawa baru diambil tindakan tegas," jelasnya.
Dirinya juga mempertanyakan, apakah korban yang masih di bawah umur itu benar-benar membahayakan nyawa polisi sehingga harus ditembak.
"Tapi apa anak itu memang niat mau membunuh? Apa dia membawa celurit, pistol, atau bendo? Kalau tidak ada ancaman nyata, tindakan tersebut jelas melanggar," ujarnya.
Ia menyatakan, polisi yang melakukan penembakan harus ditindak secara tegas, baik lewat sanksi etik maupun jerat hukum pidana.
"Polisi itu seharusnya dikenakan sanksi etik dan pasal 338 KUHP. Tidak bisa dikenakan pasal 340 KUHP karena tidak ada perencanaan, tetapi tindakan menembak langsung seperti itu tetap melanggar hukum," terangnya.
Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJateng.com dengan judul: PENGAKUAN Pelajar Korban Luka Tembak Polisi di Semarang : Saya Puter Balik Ada Orang Nodong Pistol.
(Tribunnews.com/Deni)(TribunJateng.com/Iwan Arifianto)