TRIBUNNEWS.COM - “Saya percaya, limbah bukan akhir dari segalanya."
Begitulah sepenggal kalimat yang diucapkan Eko Alif Muryanto sembari menunjukkan sangkar burung bernilai jutaan rupiah berbekal bahan pipa bekas.
Ia adalah pengrajin sangkar burung asal Mojosongo, Jebres, Solo yang sehari-hari kenyang dengan pemandangan pipa paralon bekas di sekelilingnya.
Di balik limbah tersebut, ada sebuah kisah inspiratif tentang bagaimana ketekunan, kreativitas, dan keberanian berinovasi mampu mengubah barang yang dianggap tak berguna menjadi komoditas yang mendunia.
Eko, pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) ini berani mengambil langkah besar dengan mengolah limbah paralon menjadi sangkar burung berkualitas.
Bukan hanya di pasar lokal, tapi produknya kini sudah tersebar ke berbagai negara di Eropa dan Asia.
Sebelum sukses dengan produk sangkar burung berbahan dasar paralon, Eko adalah seorang pedagang sparepart mobil di Pasar Klitikan, Semanggi, Solo.
Seperti pedagang pada umumnya, ia menjual berbagai komponen kendaraan yang tidak terpakai lagi, atau yang lebih dikenal dengan istilah "onderdil." Namun, suatu hari, kehidupannya berubah arah ketika ia mulai mengenal lebih dekat dengan rongsokan barang yang ada di tempat-tempat penampungan bekas.
Di situlah, Eko pertama kali melihat tumpukan paralon bekas. Mata Eko tertuju pada potongan-potongan pipa yang berserakan tanpa pemilik—tak ada yang mau mengambilnya.
Namun, berbeda dengan yang lain, Eko melihat potensi di balik limbah tersebut. "Kenapa tidak saya manfaatkan saja? Pipa ini bisa jadi sesuatu yang berguna," pikirnya.
Inspirasi datang dari iklan televisi yang sering menampilkan kekuatan pipa merek terkenal, bahkan hingga disindir sebagai produk yang bisa bertahan meski diinjak oleh gajah.
Eko melihat di sana ada pesan tentang ketahanan dan kekuatan. Jika pipa ini begitu kokoh, mengapa tidak dipakai untuk membuat sangkar burung yang lebih awet dan kuat dibandingkan dengan bahan kayu atau bambu yang rentan rusak?
Dengan semangat baru dan modal nekat, Eko mengumpulkan paralon bekas dari tempat-tempat penampungan rongsok dan membawanya pulang.
Bersama dua karyawannya, ia mulai berkreasi pada tahun 2012, memanfaatkan pipa-pipa tersebut untuk membuat sangkar burung.
Tidak hanya sekadar membuat, namun Eko juga memastikan bahwa setiap sangkar burung yang ia produksi memiliki daya tahan yang lebih lama dan lebih aman bagi burung peliharaan dibandingkan dengan produk kayu atau bambu.
Memulai bisnis dari bawah bukanlah hal yang mudah. Pasar sangkar burung di Solo sudah didominasi oleh pengrajin kayu dan bambu yang terkenal di seluruh Indonesia, terutama di kawasan Mojosongo yang dikenal sebagai pusat pengrajin sangkar burung.
Eko sadar bahwa persaingan di pasar lokal sangat ketat. Meski demikian, ia merasa yakin dengan kualitas dan keunggulan produknya yang terbuat dari paralon bekas, yang jauh lebih tahan lama dan bebas jamur.
Namun, untuk mengubah pandangan pasar yang sudah terbiasa dengan sangkar kayu atau bambu bukanlah hal yang mudah.
Eko mulai memasarkan produknya secara langsung dari mulut ke mulut, sering menjajakan sangkar burung buatannya di pasar-pasar lokal seperti Pasar Depok Solo.
Tidak jarang, ia harus mendengar keluhan dari pembeli tentang sangkar kayu atau bambu yang mudah rusak, atau bahkan menimbulkan masalah seperti jamur yang berbahaya bagi burung peliharaan.
Semua itu semakin menguatkan tekad Eko untuk berinovasi dan memasarkan produknya lebih luas.
Pada 2017, keberuntungan mulai berpihak kepada Eko ketika ia bergabung dengan Rumah BUMN Solo, sebuah wadah pembinaan bagi pelaku UMKM yang dikelola oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Di Rumah BUMN Solo, Eko mendapatkan pelatihan yang sangat berharga dalam bidang pemasaran online. Dari sini, ia belajar bagaimana memanfaatkan teknologi untuk menjangkau pasar yang lebih luas.
"Jika sebelumnya saya hanya mengandalkan pemasaran dari mulut ke mulut dan pasar lokal, setelah bergabung dengan Rumah BUMN, saya belajar cara memasarkan produk secara online, mulai dari Facebook hingga marketplace. Bahkan, saya belajar cara mengunggah video produk ke YouTube," kenangnya dengan penuh semangat.
Dari pelatihan yang diterima, Eko mulai memperkenalkan produk Eank Solo kepada dunia lebih luas.
Pada tahun 2018, Eko mengirimkan sangkar burung Eank Solo ke luar negeri untuk pertama kalinya.
"Saya tidak pernah membayangkan produk saya bisa sampai ke luar negeri, apalagi Belgia," ucapnya dengan bangga.
Tidak hanya Belgia, sangkar burung Eank Solo juga kini telah sampai ke negara-negara seperti Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Taiwan, Kamboja, bahkan Vietnam dan India.
Kini, usaha Eko yang diberi nama Eank Solo telah merambah pasar internasional. Sangkar burung hasil kreasinya dapat ditemukan di berbagai negara Asia dan Eropa.
Tidak hanya itu, Eko juga sukses menciptakan lapangan pekerjaan untuk masyarakat sekitar.
Dengan kemampuan untuk memproduksi sangkar burung dalam berbagai ukuran, dari diameter 16 hingga 60 cm, Eko dapat mematok harga mulai dari Rp 350 ribu hingga Rp 2,5 juta per sangkar. Dengan angka penjualan yang terus meningkat, omzet Eko bahkan bisa mencapai belasan juta rupiah per bulan.
Salah satu kunci sukses Eko adalah kemampuannya dalam memanfaatkan fasilitas yang disediakan oleh Rumah BUMN Solo dan dukungan dari BRI, yang memberikan akses permodalan untuk pengembangan usahanya.
Eko mengajukan Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada 2018 dengan dana pertama sebesar Rp 30 juta, yang digunakan untuk membangun workshop Eank Solo.
Beberapa bulan yang lalu, Eko kembali mengajukan KUR kedua senilai Rp 50 juta untuk memperbesar modal kerja dan membeli bahan baku limbah paralon dalam jumlah lebih banyak.
Tidak hanya itu, Eko juga memanfaatkan berbagai layanan digital untuk mempermudah transaksi dan meningkatkan efisiensi usahanya. Salah satunya adalah BRImo, mobile banking dari BRI yang sering digunakan Eko untuk mengakses mutasi transaksi dan memantau laporan keuangan secara real-time.
Selain itu, dengan adanya QRIS, Eko bisa melayani transaksi pembayaran secara digital, yang sangat memudahkan pembeli, terutama di pameran-pameran kerajinan tangan yang sering diikutinya.
Bagi Eko, sangkar burung bukan sekadar produk yang ia jual, tetapi lebih dari itu, ia ingin menunjukkan bahwa kreativitas dan keberanian untuk berpikir di luar kebiasaan dapat menghasilkan sesuatu yang luar biasa.
Melalui usaha Eank Solo, Eko tidak hanya memberikan solusi bagi para pecinta burung dengan produk yang lebih berkualitas, tetapi juga membuka mata banyak orang bahwa limbah bisa menjadi peluang bisnis yang menguntungkan.
Dengan pencapaian-pencapaian ini, Eko telah membuktikan bahwa sebuah ide sederhana yang lahir dari kepedulian terhadap lingkungan bisa membawa perubahan besar, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk banyak orang yang terlibat dalam perjalanannya.
Kini, Eko dan Eank Solo bukan hanya menjadi kebanggaan lokal, tapi juga bagian dari kisah sukses UMKM Indonesia yang mendunia.
Berdayakan UMKM
Direktur Utama BRI, Sunarso mengatakan bahwa alokasi kredit yang dilakukan BRI telah memberikan dampak nyata terhadap masyarakat Indonesia.
“Sesuai dengan business model-nya, BRI telah memberikan kontribusi signifikan dalam meningkatkan inklusi dan literasi keuangan di Indonesia. Berdasarkan riset internal, BRI telah berkontribusi sebesar sekitar 70 persen dari 85.1 persen pencapaian indeks inklusi keuangan Indonesia yang di survei pada tahun 2022,” jelas Sunarso.
Sunarso lanjut menjelaskan, dalam penyaluran kredit terhadap pelaku UMKM pihaknya pun mengedepankan peningkatan kapabilitas pemberdayaan. Di mana setidaknya ada tiga tahap pemberdayaan.
Pertama adalah literasi dasar yang di dalamnya mencakup inklusi keuangan dan manajemen keuangan dasar. Kedua adalah mendesain literasi bisnis. Dalam hal ini melalui peningkatan kapasitas manajerial, membangun legalitas atau kepatuhan, mengembangkan budaya inovasi, membentuk pemahaman industri dan pasar, hingga membentuk kepemimpinan dan pola pikir jangka panjang untuk meningkatkan skala usaha.
Ketiga adalah literasi digital kepada UMKM dengan tujuan go digital, go modern, dan go global. Kemudian dalam peningkatan kapabilitas pemberdayaan perlu juga kapabilitas pembiayaan. BRI dalam hal ini menjadikan pembiayaan bagian dari pemberdayaan.
“Berikutnya adalah kapabilitas channel. Pelaku UMKM yang jumlahnya sangat dominan, membutuhkan channel yang sangat beragam. BRI Group memiliki berbagai channel pemberdayaan yang dapat masuk ke dalam berbagai kategori usaha seperti Rumah BUMN, Inkubasi Universitas, Desa Brilian, LinkUMKM, juga PNM mekaar. Berikutnya adalah kapabilitas IT yang mengintegrasikan seluruh layanan dan terakhir adalah kapabilitas kolaborasi,” imbuhnya.
(*)