Hasil temuan di lapangan oleh pegawai BMKG Palu menunjukkan, pukul 18.27 WITA ada genangan air setinggi 30 sentimeter di Pelabuhan Pantoloan, pada jarak 100 sampai 200 meter dari pantai.
Kemudian pukul 18.30 WITA, ditemukan genangan air setinggi 10 sentimeter di kantor Bea Cukai Pantoloan dan ada kapal terdampar menutupi jalan raya.
Ini merupakan fakta, saat itu tsunami sebenarnya sudah surut.
Berdasarkan catatan muka laut di Pantoloan diketahui, gempa terjadi pada pukul 18.02 WITA.
Air laut surut terjadi pukul 18.08 WITA dan tsunami maksimum terjadi pukul 18.10 WITA.
Berdasarkan hasil pemutakhiran mekanisme sumber gempa menunjukkan, gempa yang terjadi memiliki pergeseran mendatar dan hasil observasi tinggi tsunami.
Serta sudah terlewatinya waktu tiba tsunami di Palu dan Mamuju, maka peringatan dini tsunami diakhiri pukul 18.36 WITA.
Apa yang dilakukan oleh BMKG sudah tepat, yakni mengeluarkan peringatan dini pada menit ke-5 setelah gempa.
Jika melihat data pasang surut laut Pantoloan di Teluk Palu menunjukkan tsunami terbesar di teluk sudah lewat saat BMKG mengakhiri peringatan dini tsunami.
Jadi sebenarnya tidak ada masalah dalam operasional peringatan dini oleh BMKG.
Tidak ada yang gagal atau kecolongan dalam memberikan pelayanan peringatan dini tsunami.
"BMKG dapat disebut gagal atau kecolongan bila terjadi tsunami tetapi tidak memberikan peringatan dini sebelumnya," imbuh Daryono.
Meskipun sistem teknolgi dari InaTEWS sudah bekerja dengan baik, tetapi subsistem yang menghubungkan ke masyarakat tampaknya masih banyak masalah.
Dalam kasus tsunami Palu, peringatan dini dari BMKG terbukti telah dikirim melalui berbagai sarana diseminasi, meski ternyata SMS peringatan dini tidak sampai ke masyarakat Palu dan Donggala.
"Menurut laporan, penyedia layanan SMS mengalami gangguan akibat gempa kuat," jelas Daryono.