TRIBUNNEWS.COM - Rapid test atau uji cepat yang handal untuk melacak infeksi virus SARS-CoV-2, setidaknya untuk beberapa bulan ke depan, diyakini menjadi jurus paling ampuh untuk memperlambat penyebaran virus corona.
Lewat metode uji cepat, korban infeksi dan potensi munculnya "titik panas" COVID-19 bisa terdeteksi lebih dini.
Dengan begitu pasien bisa dengan cepat memasuki masa karantina di fasilitas-fasilitas medis yang sudah disiapkan, atau kalau gejalanya ringan, bisa dikarantina di rumah.
Namun banyak hal dan prosedur yang harus dilewati untuk dapat melakukan uji cepat virus corona.
Di negara maju seperti Jerman, ada regulasi yang mengatur prosedurnya.
Juga ketersediaan alat tes, kapasitas laboratorium, jumlah tenaga ahli serta bagaimana penanganan sampel, menjadi faktor penting dalam rapid test.
Penanganan sampel yang keliru bisa menghasilkan diagnosa yang salah pula.
Juga terlihat, saat wabah pertama kali berkecamuk di Wuhan, kapasitas laboratorium, peralatan dan tenaga ahli dalam waktu singkat tidak lagi mampu menangani lonjakan jumlah pasien.
Siapa yang harus dites?
Uji cepat pada prinsipnya hanya dibatasi pada dugaan kasus.
Pasalnya tes secara massal, selain tidak logis juga nyaris mustahil dilaksanakan.
Apalagi, gejala batuk-batuk atau demam ringan, juga tidak identik dengan infeksi COVID-19.
Mereka yang harus dites adalah yang menunjukkan gejala radang paru-paru dengan penyebab tidak jelas.
Gejala yang mecolok adalah kesulitan bernafas, batuk kering dan demam.
Apalagi jika mereka pernah mengunjungi kawasan risiko atau kontak langsung dengan penderita COVID-19.