Sampai sekarang, ekstraksi DNA purba lebih banyak menggunakan tulang dari tengkorak atau gigi bagian dalam karena memberikan sampel kualitas terbaik.
Tetapi kedua bagian tersebut tak selalu tersedia atau bertentangan dengan kepercayaan budaya untuk mengambil sampel dari kerangka penduduk asli.
Dalam beberapa kasus, metode pengambil sampel justru menyebabkan kerusakan parah pada spesimen yang dapat menganggu analisis ilmiah.
Perotti dan timnya percaya bahwa memulihkan DNA dari semen yang dibawa oleh kutu dapat menjadi solusi untuk masalah tersebut, terutama karena telur kutu biasanya ditemukan pada rambut dan pakaian manusia yang diawetkan dengan baik dan dimumikan.
Para peneliti mengatakan metode baru ini dapat memungkinkan lebih banyak sampel untuk dipelajari dari sisa-sisa manusia dalam kasus-kasus di mana sampel tulang dan gigi tidak tersedia.
“Kutu telah menemani manusia sepanjang keberadaan mereka, jadi metode baru ini dapat membuka pintu informasi tentang nenek moyang kita, sambil melestarikan spesimen unik,” kata Perotti.
Lebih lanjut, peneliti juga menemukan bukti paling awal dari sel Merkel Polymavirus yang menyebabkan kanker kulit dalam DNA mumi.
Hal tersebut pun membuat peneliti optimis jika metode baru juga dapat mengungkap petunjuk mengenai kemungkinan penyakit yang disebabkan virus purba.
"Hasil DNA dari kutu ini benar-benar mengejutkan kami karena dapat memberi kita banyak informasi," tambah Mikkel Winther Pedersen, peneliti lain yang tergabung dalam studi ini.
Studi kutu purba ungkap petunjuk kehidupan mumi berusia 2000 tahun ini telah dipublikasikan di jurnal Molecular Biology and Evolution. (Kontributor Sains, Monika Novena)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kutu Purba Beri Petunjuk Kehidupan Mumi Berusia 2000 Tahun