TRIBUNNEWS.COM - Berikut penjelasan mengenai apa itu fenomena astronomis Bulan Hitam.
Dikutip dari laman Edukasi Sains LAPAN, Bulan Hitam secara kasat mata memang tidak dapat dilihat.
Hal ini karena konfigurasi Bumi-Bulan-Matahari yang terlihat pada satu garis lurus jika diamati dari atas kutub, sehingga permukaan Bulan yang menghadap Bumi tidak terkena cahaya Matahari dan Bulan tampak gelap.
Setiap 2 hingga 5 kali dalam setahun, konfigurasi ini bertepatan dengan ketika Bulan berada di titik simpul orbit (perpotongan ekliptika dan orbit Bulan) sehingga bayangan Bulan jatuh ke permukaan Bumi dan mengakibatkan Gerhana Matahari.
Baca juga: Fenomena Bulan Hitam: Definisi, Daftar Wilayah, dan Perbedaan Waktu Terjadinya
Baca juga: Mengenal Fenomena Ekuiluks: Durasi Panjang Siang dan Malam yang Sama di 39 Daerah di Indonesia
Bulan Hitam (sebagai bulan baru kedua dalam bulan Masehi) sebelumnya pernah terjadi di Indonesia pada 31 Oktober 2016 dan 30 Agustus 2019.
Fenomena ini akan terjadi kembali pada 31 Desember 2024 dan 30 September 2027 mendatang.
Sebagaimana fase Bulan Baru pada umumnya, Bulan Hitam dapat mengakibatkan naiknya pasang laut dibandingkan hari-hari lainnya ketika konfigurasi Bumi-Bulan-Matahari tidak segaris (jika diamati dari atas kutub).
Masyarakat diimbau agar tidak melaut saat air laut sedang pasang.
Ada empat definisi "Bulan Hitam" yang berbeda-beda:
1. Fase Bulan Baru yang kedua dalam satu bulan Masehi
Fenomena ini cukup sering terjadi karena berlangsung periodik dengan periode 29 bulan.
Hal ini disebabkan umur bulan Masehi selain Februari (30 dan 31 hari) lebih panjang dibandingkan dengan durasi siklus sinodis Bulan (disebut juga lunasi, yakni 29,53 hari) dan Bulan Baru pertama di dalam bulan Masehi jatuh di awal bulan, sehingga Bulan Baru kedua jatuh di penghujung bulan Masehi.
2. Fase Bulan Baru ketiga dalam satu musim astronomis
Fase Bulan Baru ketiga dalam satu musim astronomis (dari ekuinoks ke solstis maupun solstis ke ekuinoks) yang mengandung empat fase bulan baru.