TRIBUNNEWS.COM - Bicara soal Hari Hak Asasi Manusia (HAM) tidak bisa lepas dari catatan sejarah kematian aktivis HAM, Munir Said Thalib yang hingga kini masih menjadi misteri.
Hari HAM secara internasional diperingati setiap tanggal 10 Desember.
Munir meninggal 7 September 2004, di pesawat terbang dalam perjalanan menuju Amsterdam, Belanda untuk melanjutkan studi.
Mengutip Kompas.com, Munir menumpangi pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA-974 yang lepas landas dari Jakarta Senin (6/09/2004) malam pukul 21.55 WIB.
Pesawat tersebut transit di Bandara Changi, Singapura, sebelum melanjutkan perjalanan menuju Amsterdam, Belanda.
Hasil autopsi menyatakan bahwa Munir meninggal akibat racun arsenik yang ada dalam jus jeruk yang ia minum.
Munir sempat mendapat pertolongan dari seorang dokter yang berada dalam pesawat.
Dia kemudian dipindahkan ke sebelah bangku dokter dan mendapat perawatan
Hingga saat ini, kasus kematian Munir masih menjadi misteri.
Baca: Peringati Hari HAM se-Dunia 10 Desember Hari Ini, Tagar HumanRightsDay jadi Trending Twitter
Pengadilan memang telah menjatuhkan vonis 14 tahun terhadap Pollycarpus Budihari Priyanto yang disebut sebagai pelaku pembunuhan.
Pengadilan juga memvonis Direktur Utama PT Garuda Indonesia saat itu, Indra Setiawan, dengan hukuman 1 tahun penjara.
Dia dianggap terlibat dalam kasus pembunuhan Munir.
Akan tetapi, Indra Setiawan membantah terlibat dalam konspirasi pembunuhan Munir yang juga diduga melibatkan Badan Intelijen Negara (BIN).
Surat tugas untuk Pollycarpus selama ini diduga dibuat Indra setelah menerima surat resmi dari BIN.
Mengutip dokumen Harian Kompas pada 2 Februari 2008 dari Kompas.com, dalam pleidoinya, Indra mengaku tidak tahu apakah surat BIN yang diterimanya pada Juni atau Juli 2004 itu bagian dari rencana pembunuhan atau bukan.
Dia hanya memahami bahwa surat tersebut merupakan surat resmi dari lembaga negara yang salah satunya bertugas mencegah ancaman teror.
Meski BIN mendapat sorotan dalam kasus pembunuhan Munir, belum ada pejabat dari lembaga tersebut yang dijerat kasus hukum.
Mantan Deputi V BIN Muchdi Prawiro Pranjono pernah menjadi terdakwa dan diadili.
Baca: 4 Film Indonesia Tentang HAM, Cocok Ditonton untuk Peringati Hari HAM Sedunia
Namun, hakim kemudian membebaskan Muchdi karena dianggap tak terbukti terlibat menempatkan Pollycarpus dalam penerbangan itu.
Kasus pembunuhan Munir ini telah diangkat dalam beberapa karya sastra seperti cerita pendek (cerpen) dan lagu.
Karya-karya itu berusaha menyarakan bahwa meski Munir telah mati, penegakan dan gagasan tentang HAM akan terus hidup.
Cerpen yang mengisahkan kasus pembunuhan Munir ditulis oleh Agus Noor berjudul "Kopi dan Cinta yang Tak Pernah Mati".
Cerpen ini dipublikasikan di harian Kompas, 11 Januari 2011 dan dinobatkan sebagai cerpen terbaik.
Cerpen itu mengambil sudut pandang dari pelaku yang dijatuhi hukuman penjara sebagai pelaku pembunuhan Munir.
Dalam cerpen itu mengisahkan pelaku yang telah bebas dari hukumannya.
Cerpen itu menyuratkan bahwa si pelaku yang dijatuhi hukuman penjara itu sebenarnya tidak bersalah.
Si pelaku memang yang memberi racun arsenik pada minuman Munir, tetapi ia bukanlah orang yang menginginkan kematian Munir, ia hanyalah orang suruhan.
Dalam cerpen itu, dikisahkan bahwa ia diutus untuk menghabisi 'seorang pembangkang yang dianggap berbahaya bagi negara'.
Baca: Peringati Hari HAM Sedunia, Mahfud MD Soroti Perlindungan HAM di Jepang
Kisah kematian Munir juga diangkat ke dalam sebuah lagu yang diciptakan oleh Efek Rumah Kaca berjudul "Di Udara".
Judul "Di Udara" digunakan sebab Munir dibunuh di udara atau di atas pesawat.
Aku sering diancam
juga teror mencekam
Kerap ku disingkirkan
sampai dimana kapan
Ku bisa tenggelam di lautan
Aku bisa diracun di udara
Aku bisa terbunuh di trotoar jalan
tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti
Aku sering diancam
juga teror mencekam
Ku bisa dibuat menderita
Aku bisa dibuat tak bernyawa
di kursi-listrikkan ataupun ditikam
Tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti
Tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti
Ku bisa dibuat menderita
Aku bisa dibuat tak bernyawa
di kursi-listrikkan ataupun ditikam
Ku bisa tenggelam di lautan
Aku bisa diracun di udara
Aku bisa terbunuh di trotoar jalan
Tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti
(Tribunnews.com/Fitriana Andriyani)