TRIBUNNEWS.COM - Pasca tsunami Aceh yang terjadi 2004 silam, Pulau Simeulue terkenal dengan kearifan lokal-nya yang bernama Smong.
Kearifan lokal Smong yang telah membudaya dalam masyarakat diyakini menjadi faktor yang membuat Simeulue terhindar dari dampak parah akibat tsunami besar di tahun 2004.
Saat tsunami besar menghantam Aceh di tahun 2004 silam, banyak yang menyangka kondisi Pulau Simeulue jauh lebih parah dari Aceh.
Hal ini lantaran posisi Pulau Simeulue yang memang sangat dekat dengan sumber gempa besar pemicu gelombang dahsyat tsunami.
Namun ternyata dugaan tersebut tak terbukti.
Berbanding terbalik, jumlah korban tsunami di Simeulue justru menunjukkan angka yang relatif sedikit dibandingkan dengan korban tsunami Aceh.
Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan banyak pihak merasa tertarik dengan kearifan lokal Smong masyarakat Simeulue.
Satu di antaranya adalah seorang peneliti Jepang bernama Yoko Takafu yang berusuaha mencari latar belakang Smong pada Desember 2012.
Dikutip Tribunnews.com dari kompasiana.com, Yoko Takafu merasa sangat tertarik dengan kearifan lokal Smong yang dimiliki masyarakat Simeulue.
Pasalnya mereka tak hanya mengandalkan peralatan dan teknologi canggih seperti Jepang dalam menghadapi tsunami.
Baca: Kisah orang tua yang selamat dari tsunami lumpur di Brasil
Lalu sebenarnya apakah yang dimaksud dengan Smong yang selama ini ramai digaungkan?
Dalam buku “Smong, Pengetahuan Lokal Pulau Simeulue” peneliti LIPI Eko Julianto dan Herry Yogaswara yang dilansir oleh kompasiana.com menjelaskan bahwa istilah Smong berawal dari peristiwa gempa dan tsunami yang terjadi di tahun 1907 silam.
Kisah gempa dan tsunami tersebut kemudian diwariskan dari generasi ke generasi dalam bentuk syair.
Syair ini berisi ajakan untuk lari ke tempat yang lebih tinggi jika ada guncangan kuat yang terjadi, sehingga menjadi kebiasaan masyarakat Simeulue saat gempa melanda.