Soal Supersemar, Kontroversinya hingga Pihak yang Mengaku Miliki Naskah Asli
TRIBUNNEWS.COM - Tepat pada hari ini 11 Maret 53 tahun lalu, diyakini sebagai hari keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 atau dikenal Supersemar.
Ketika itu, Soeharto mengaku mendapat mandat dari Presiden Soekarno untuk memulihkan keamanan negara.
Indonesia menjadi berantakan setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) yang dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia.
Mendapat mandat yang disebut sebagai Supersemar, Soeharto memulihkan keamanan negara.
Tak hanya itu, Soeharto juga mengambil alih kepemimpinan nasional.
Baca: Hari Ini Supersemar Lahir, Awal Berkuasanya Soeharto Selama 32 Tahun
Hari dikeluarkannya supersemar menjadi awal kejayaan Soeharto.
Terkait dengan Supersemar tersebut ada sejumlah kontroversi di dalamnya.
Baca: ICW: Segera Eksekusi Pengembalian Uang Korupsi Supersemar Era Soeharto Rp 4 Triliun
Berikut ini Tribunnews telah merangkum beberapa kontroversi yang sudah dirangkum dari berbagi sumber:
1.Tentang Versi Surat
Mengutip dari Wikipedia.com ada dua versi surat tentang Supersemar ini.
Dilansir Kompas.com, surat Supersemar diketahui ada tiga versi soal keberadaan Supersemar.
Menurut peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, keberadaan naskah otentik Supersemar hingga kini belum diketahui.
Kendati lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia menyimpan tiga versi naskah Supersemar, ketiganya tidak otentik.
"Ada tiga arsip naskah Supersemar, dari Sekretariat Negara, Puspen TNI AD, dan dari seorang kiai di Jawa Timur," ujar Asvi dalam diskusi bulanan Penulis Buku Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan.
Menurut penuturan salah satu dari ketiga perwira tinggi AD yang akhirnya menerima surat itu, ketika mereka membaca kembali surat itu dalam perjalanan kembali ke Jakarta, salah seorang perwira tinggi yang kemudian membacanya berkomentar "Lho ini kan perpindahan kekuasaan".
Tidak jelas kemudian naskah asli Supersemar karena beberapa tahun kemudian naskah asli surat ini dinyatakan hilang dan tidak jelas hilangnya surat ini oleh siapa dan di mana karena pelaku sejarah peristiwa "lahirnya Supersemar" ini sudah meninggal dunia.
Belakangan, keluarga M. Jusuf mengatakan bahwa naskah Supersemar itu ada pada dokumen pribadi M. Jusuf yang disimpan dalam sebuah bank.
2. Penuturan Pegawai Istana Bogor
Menurut kesaksian salah satu pengawal kepresidenan di Istana Bogor, Letnan Satu (lettu) Sukardjo Wilardjito, ketika pengakuannya ditulis di berbagai media massa setelah Reformasi 1998 yang juga menandakan berakhirnya Orde Baru dan pemerintahan Presiden Soeharto.
Dia menyatakan bahwa perwira tinggi yang hadir ke Istana Bogor pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 pukul 01.00 dinihari waktu setempat bukan tiga perwira melainkan empat orang perwira yakni ikutnya Brigadir jendral (Brigjen) M. Panggabean.
Bahkan pada saat peristiwa Supersemar Brigjen M. Jusuf membawa map berlogo Markas Besar AD berwarna merah jambu serta Brigjen M. Pangabean.
Lalu setelah itu, Brigjen Basuki Rahmat menodongkan pistol kearah Presiden Soekarno dan memaksa agar Presiden Soekarno menandatangani surat itu yang menurutnya itulah Surat Perintah Sebelas Maret yang tidak jelas apa isinya.
Baca: Supersemar Turun, Soeharto Usir Soekarno untuk Keluar Indonesia Atau Mengundurkan Diri dari Presiden
Lettu Sukardjo yang saat itu bertugas mengawal presiden, juga membalas menodongkan pistol ke arah para jenderal namun Presiden Soekarno memerintahkan Soekardjo untuk menurunkan pistolnya dan menyarungkannya.
Menurutnya, Presiden kemudian menandatangani surat itu, dan setelah menandatangani, Presiden Soekarno berpesan kalau situasi sudah pulih, mandat itu harus segera dikembalikan.
Pertemuan bubar dan ketika keempat perwira tinggi itu kembali ke Jakarta. Presiden Soekarno mengatakan kepada Soekardjo bahwa ia harus keluar dari istana.
“Saya harus keluar dari istana, dan kamu harus hati-hati,” ujarnya menirukan pesan Presiden Soekarno.
Baca: Kuasa Hukum Tommy Soeharto: Jaksa Agung Tak Baca Berkas Perkara Kasus Yayasan Supersemar
Tidak lama kemudian (sekitar berselang 30 menit) Istana Bogor sudah diduduki pasukan dari RPKAD dan Kostrad, Lettu Sukardjo dan rekan-rekan pengawalnya dilucuti kemudian ditangkap dan ditahan di sebuah Rumah Tahanan Militer dan diberhentikan dari dinas militer.
Beberapa kalangan meragukan kesaksian Soekardjo Wilardjito itu, bahkan salah satu pelaku sejarah supersemar itu, Jendral (Purn) M. Jusuf, serta Jendral (purn) M Panggabean membantah peristiwa itu.
3. Yang Mengetik Supersemar
Siapa sebenarnya yang mengetik surat tersebut, masih tidak jelas.
Ada beberapa orang yang mengaku mengetik surat itu, antara lain Letkol (Purn) TNI-AD Ali Ebram, saat itu sebagai staf Asisten I Intelijen Resimen Tjakrabirawa.
Kesaksian yang disampaikan kepada sejarawan asing, Ben Anderson, oleh seorang tentara yang pernah bertugas di Istana Bogor.
Tentara tersebut mengemukakan bahwa Supersemar diketik di atas surat yang berkop Markas besar Angkatan Darat, bukan di atas kertas berkop kepresidenan.
Inilah yang menurut Ben menjadi alasan mengapa Supersemar hilang atau sengaja dihilangkan.
Baca: Mendadak Ditanya Supersemar, Apa Kira-kira Jawaban Mereka?
4. Ada Pihak-Pihak Lain yang Mengaku Memiliki Naskah Asli Supersemar
Selain yang disimpan ANRI, ada pihak-pihak lain yang mengaku memiliki naskah aslinya (buku Seabad Kontroversi Sejarah, Asvi Warman Adam, halaman 80) yang dikutip dari wartakota.com.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa naskah asli Supersemar disimpan di sebuah bank di luar negeri, sedangkan sumber lain menyebut yang asli sebenarnya sudah tidak ada karena dibakar dengan tujuan tertentu.
Dalam wawancara oleh Majalah Forumedisi 13, 14 Oktober 1993, mantan Pangdam Jaya sekaligus mantan Menteri Dalam Negeri Amirmachmud mengatakan, naskah asli Supersemar diserahkan oleh Basoeki Rachmat, M Jusuf, dan dirinya kepada Soeharto yang saat itu menjabat Menteri Panglima Angkatan Darat.
Kemudian Pak Harto menyerahkan surat itu pada Soedharmono untuk keperluan pembubaran PKI.
Setelah itu surat tersebut "menghilang."
5. Bagian Sejarah Indonesia Masih Gelap
Berbagai usaha pernah dilakukan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk mendapatkan kejelasan mengenai surat ini.
Bahkan, ANRI telah berkali-kali meminta kepada Jendral (Purn) M. Jusuf, yang merupakan saksi terakhir hingga akhir hayatnya 8 September 2004, agar bersedia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun selalu gagal.
Lembaga ini juga sempat meminta bantuan Muladi yang ketika itu menjabat Mensesneg, Jusuf Kalla, dan M. Saelan, bahkan meminta DPR untuk memanggil M. Jusuf.
Sampai sekarang, usaha ANRI itu tidak pernah terwujud.
Saksi kunci lainnya, adalah mantan presiden Soeharto.
Namun dengan wafatnya mantan Presiden Soeharto pada 27 Januari 2008, membuat sejarah Supersemar semakin sulit untuk diungkap.
Dengan kesimpangsiuran Supersemar itu, kalangan sejarawan dan hukum Indonesia mengatakan bahwa peristiwa G-30-S/PKI dan Supersemar adalah salah satu dari sekian sejarah Indonesia yang masih gelap.
(Tribunnews.com/ Umar Agus W)