TRIBUNNEWS.COM - Grup musik asal Yogyakarta, Senyawa sukses membius penonton dengan penampilan karya eksperimentalnya di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Surakarta, Kamis (27/1/2022) malam.
Melalui pengamatan Tribunnews.com di lapangan, terlihat para penonton terdiam untuk fokus mendengarkan setiap suara yang mucul dari hasil eksperimental Wukir Suryadi (komposer musik) dan Rully Shabara (vokal).
Penampilan dimulai dengan suara distorsi dari alat musik yang dibuat Wukir dan dilanjutkan dengan vocal Rully.
Pada dasarnya, suara-suara distorsi ini tidak memiliki sebuah tatanan yang jelas.
Agar layak menjadi sebuah tontonan, suara-suara distorsi tersebut diolah dengan mengedepankan improvisasi keduanya.
Baca juga: Catat! On Stage Edisi 9 Tampilkan Grup Musik Eksperimental Senyawa di TBJT 27 Januari 2022
Baca juga: Rapper asal Solo, Jojo Nugraha Rilis Single Terbaru Another Dog Pack di Semua Platform Musik Digital
"Kami menggunakan metode improvisasi, yang sifatnya lebih fleksibel luwes dan tak ada patokan yang pasti."
"Tapi kami masing-masing sudah mempersiapkan senjatanya (karya untuk modal improvisasi) sendiri-sendiri," kata Rully.
Keduanya saling merespon dan mengisi satu sama lain, hingga membuat suara distorsi memadu dengan apik.
Sehingga menciptakan sebuah jalinan musik yang kaya akan intepretasi.
Karya Hidup dan Terus Berkembang
Bagi Senyawa, karya musik sejatinya harus senantiasa hidup untuk dapat terus dikembangkan.
Sama seperti kehidupan yang terus bersinggungan dengan banyak hal, karya juga akan berkembang mengikuti zaman.
Baca juga: Kemenhub Sulap Wajah Terminal Tirtonadi, Kini Bisa Dipakai Konser Musik Hingga Olahraga
Karya tak melulu harus dipentaskan sama dengan karya hasil rekaman.
"Karya kalau bagi kami itu tidak pernah jadi, karya itu menurut kami selalu berevolusi."
"Begitu karya itu direkam, itu baru awalnya saja."
"Karya itu belum hidup kalau belum dibawa ke panggung, di panggung nanti karya itu baru mendapatkan energi."
"Apalagi kalau direspon orang, itu akan terus berubah lagi."
"(Menurut penilaian kami) kalau karya tidak pernah dibawakan (ke panggung) itu akan menjadi karya mati," jelas Rully.
Sehingga dengan bereksperimen, Rully maupun Wukir dapat membuka kemungkinan-kemungkinan perbaharuan lain.
"Jadi karya eksperimental itu banyak sekali membuka kemungkinan-kemungkinan lain yang bahkan kami sendiri tidak terpikirkan."
Baca juga: Selain Main Musik, Band Good Morning Everyone Juga Bikin Film Pendek
"(Sebagai contoh kemungkinan perbaharuan karya ini tercipta) karena (hasil kolaborasi bersama) orang lain lain yang mungkin kita libatkan (dalam karya) dapat memberikan pandangan lokal masing-masing," sambung Rully.
Konsep Berkarya
Dalam membuat sebuah karya, mereka berusaha membuatnya sungguh-sungguh.
Mereka berupaya bagaimana sebuah karya tercipta tidak hanya menginterpretasikan satu sudut pandang.
Mereka ingin penonton atau pendengarnya juga dapat merasakan dan kemudian membayangkan sesuatu sesuai dengan imajinasi mereka.
"Seperti layaknya cerita fiksi, kami membuat karya tidak serta merta membuatnya, itu nanti jadi tidak seru."
"Kami harus mengajak orang untuk dapat bercermin pada apa yang dia baca dan disambungkannya kepada kejadian yang relevan."
Baca juga: Kalahkan Apple Music dan Youtube, Spotify Jadi Jawara Pasar Streaming Musik Dunia
"Bagaimana buku fiksi itu menjadi menarik untuk dibaca, dan pembacanya juga merasa ditantang untuk berrpartuisipasi."
"Paling tidak ya intelektualnya (atau imajinasinya) dan semoga itu menjadi pancingan untuk orang berpikir," jelas Rully.
Kendati demikian, keduanya tidak ingin memaksakan penonton untuk dapat ikut berimajinasi dengan karyanya.
"Kami membuat karya itu bukan untuk merubah dunia tapi untuk kami sendiri."
"Bagaimana kami ingin memahami diri, supaya kami juga mengerti apa yang kami bicarakan (dan apa yang ingin kami sampaikan."
"Kami endapkan (pikiran kami) kembali, supaya kami menjadi lebih baik (dalam berkarya)."
"Dari sini kami berharap orang terinspirasi kepada kami, tapi kami juga tidak memaksakan orang untuk mengikuti gaya kami."
Baca juga: Why Let the Chicken Run?, Jadi Pameran Tunggal Pertama Melati Suryodarmo di Dalam Museum
"(Kami ingin memberikan pandangan) harapannya semua orang bebas mengekpresikan musik (sesuai dengan keinginan masing-masing)."
"Siapapun yang ingin membuat karya eksperimental seperti kami, dia bisa memiliki hak yang sama seperti kami."
"Dia bisa mengualifikasikannya, dia bisa mendistribusikan karyanya sendiri dan dia dapat memberi muatan lokalnya sendiri." tambah Rully.
Tak ubahnya Rully, Wukir juga terbuka dengan konsep karyanya.
Ia memberikan kesempatan bagi orang lain untuk ikut memikirkan atau bahkan memberikan komentar terhadap karyanya.
Apalagi jika ada yang ingin berkolaborasi dengannya.
"Membuat (karya) suara itu tergantung kebutuhan, bisa berangkat dari ide dulu atau bahkan pesenan (masukkan dari orang lain)."
Baca juga: Menggiurkan, Ini Peluang Industri Musik Raih Cuan dalam Dunia Metaverse
Hal tersebut dapat terlihat saat Senyawa membawakan repertoar karya terakhirnya.
Dari 14 karya yang ditampilkan, satu karya terakhirnya dilakukan berkolaborasi dengan para penari dari Studio Plesungan (ruang kreatif yang didirikan oleh Melati Suryodarmo).
Rully dan Wukir bebas memadukan improvisasi keduanya.
Sementara sembilan penari merespon melalui gerakan mengikuti suara-suara distorsi yang diciptakan Rully dan Wukir.
Penampilan ini menunjukkan bahwa Senyawa terbuka atas adanya kemungkinan-kemungkinan perbaharuan karya untuk menciptakan sebuah karya baru.
Kolaborasi inilah yang juga ingin dibangun Melati Suryodarmo dalam dunia kesenian.
Sesuai dengan tujuan digelarnya Program On Stage ini, Melati berharap Studio Plesungan dapat dijadikan sebagai ruang bagi para seniman untuk mengolah kreativitasnya.
Sehingga para seniman memiliki ruang untuk menampilkan karya-karyanya.
Selain dirancang untuk meningkatkan silaturahmi antar pekerja seni, program rutin setiap dua bulan sekali ini juga dimaksudkan agar dapat meningkatkan apresiasi publik terhadap karya seniman pilihan.
(Tribunnews/ Galuh Widya Wardani)