TRIBUNNEWS.COM - Simak sederet fakta Empty Sella Syndrome (ESS), penyakit yang diderita presenter Ruben Onsu.
Saat ini Ruben Onsu masih menjalani proses pengobatan dan optimis bisa sembuh.
Alih-alih istirahat total, suami Sarwendah memilih untuk tetap melakoni pekerjaannya meski sedang sakit.
Ayah tiga anak ini tak ingin terlihat lemah dan berharap bisa melewati masa-masa sulitnya.
"Profesionalnya lagi diuji di sini. Ketika lagi diuji saya lakuin yang terbaik aja."
"Supaya tidak terlihat, wah ini gua lagi lemah. Buat saya semua bisa dilewatin," jelas Ruben Onsu, seperti dikutip dari YouTube MOP Channel, Rabu (27/7/2022).
Baca juga: Tetap Profesional Kerja Meski Idap Empty Sella Syndrome, Ruben Onsu: Lakukan yang Terbaik Aja
Empty Sella Syndrome tergolong penyakit langka yang belum diketahui penyebabnya, dikutip dari Kompas.com.
Nama lain dari Empty Sella Syndrome yakni penyempitan sumsum tulang belakang.
Berikut Tribunnews rangkum lewat fakta-fakta terkait Empty Sella Syndrome:
1. Apa itu Empty Sella Syndrome?
Melansir Hopkine Medicine, penyakit ini disebabkan karena kondisi saat sella tursika, struktur tulang di mana kelenjar pituitari berada, membesar.
Diketahui, lokasi sella tursika itu berada pada dasar otak.
Mereka yang mengalami Empty Sella Syndrome saat dilakukan rekam kepala, kelenjar puitari awalnya akan terlihat seperti hilang.
Perlu diketahui, sebenarnya kelenjar tersebut tidak hilang.
Pada sebagian kecil orang cairan tulang belakang bisa bocor ke dalam sella tursika.
Penumpukan cairan tulang belakang tersebut menekan kelenjar pituitary, sehingga sepertinya sella tursika kosong.
Hal tersebut membuat seseorang mengalami kondisi Empty Sella Syndrome primer, seperti dikutip dari WebMd.
Sementara kondisi lain muncul karena kelenjar pituitari berukuran terlalu kecil akibat efek dari operasi, radiasi, tumor, maupun cedera kepala serius.
Keadaan itulah disebut Empty Sella Syndrome sekunder.
Baca juga: Penyebab Empty Sella Syndrome, Waspadai Gejala Sakit Kepala dan Tertekan di Dalam Tengkorak
2. Gejala
Menurut sumber yang sama, penderita Empty Sella Syndrome jarang ada yang memiliki gejala spesifik.
Namun beberapa di antaranya turut menunjukkan sejumlah gejala.
Mulai dari sakit kepala, tekanan darah tinggi, kelelahan, impotensi pada pria, gairah seks rendah, periode menstruasi tidak teratur, hingga infertilitas.
3. Pengobatan
Meski dinyatakan Empty Sella Syndrome, namun tidak mengalami masalah pada kesehatan maka tidak perlu mendapatkan perawatan intensif.
Tetapi jika mengalami sejumlah gejala berat, dokter pasti akan menyarankan untuk dirawat.
Termasuk memberikan obat-obatan hingga operasi.
Obat akan diberikan jika jika kelenjar pituitary tak mengeluarkan jumlah hormon yang tepat.
Sehingga dokter mungkin akan memberikan obat untuk membantu memperbaikinya
Tindakan operasi bakal dilakukan jika cairan tulang belakang bocor dari hidung.
Operasi dilakukan untuk mencegah hal tersebut terjadi.
4. Bisakah Dicegah?
Dilansir Kompas.com, sulit melakukan pencegahan terhadap Empty Sella Syndrome.
Lantaran pakar dunia kesehatan tidak yakin apa yang menjadi penyebab penyakit ini.
Pun, seringkali penderitanya tidak mendapatkan diagnosis yang tepat sehingga sulit menentukan faktor risikonya pada populasi umum.
Diperkirakan oleh beberapa peneliti, kurang dari satu persen individu dengan sindrom ini akhirnya mengembangkan gejala yang terkait dengan gangguan tersebut.
Penyakit ini terjadi sekitar empat kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria.
Kendati demikian, bukan berarti empty sella syndrome tidak bisa diobati.
Kita bisa menjalani pengobatan dengan ahli endokrin guna mengembalikan semua kadar hormon menjadi normal.
Sehingga kita bisa beraktivitas dengan normal kembali.
(Tribunnews.com/Ayumiftakhul)(Kompas.com/Sekar Langit Nariswari)