News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Polisi Tembak Polisi

Memahami Psikologis Putri Candrawathi Usai Pembunuhan Brigadir J di Rumah Dinas Ferdy Sambo

Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Willem Jonata
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Putri Candrawathi, istri Irjen Ferdy Sambo, kabarnya akan memenuhi panggilan Komnas HAM siang ini.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Susilaningtias mengatakan, Putri Candrawathi berpotensi mengalami kecemasan atau pascatrauma atau post-traumatic stress disorder (PTSD).

Hal itu didasari hasil pemeriksaan psikologis yang dilakukan oleh LPSK, Selasa (9/8/20222).

Diketahui, Putri Candrawathi merupakan saksi kunci untuk mengetahui motif pembunuhan Brigadir J.

Irjen Ferdy Sambo, suami Putri, sudah ditetapkan sebagai tersangka otak pembunuhan tersebut. 

Yang bersangkutan mengklaim Brigadir J melakukan hal yang melukai martabat istrinya di Magelang.

Pertanyaannya, apa itu PTSD?

Menurut Psikolog & Grafolog, Joice Manurung menyebutkan pada Buku oleh American Psychiatric Association, DSM 5, PTSD terjadi karena paparan sifat langsung atau tidak langsung dari sebuah peristiwa yang bersifat traumatis.

Peristiwa ini biasanya diikuti oleh empat kategori. Pertama, munculnya instruksi yaitu pikiran yang menganggu, berkaitan dengan traumatik. 

"Misalnya tiba-tiba keingat, ingin mengakhiri hidup," ungkap Joice saat diwawancarai Tribunnews, Selasa (16/8/2022).

Kedua, adanya upaya untuk menghindari semua hal yang berhubungan dengan peristiwa traumatik.

Baca juga: Polda Metro Buka Suara Soal Adanya Perwira yang Desak LPSK untuk Lindungi Putri Candrawathi

Contohnya, orang ini tidak mau membicarakan soal peristiwa terkait. 

Bahkan tidak mau datang ke tempat kejadian atau sekadar lewat. Bahkan pada kasus tertentu, saat kehilangan seseorang yang sangat berarti, ia tidak mau mencium baunya dari baju tersebut. 

Ketiga ada perubahan negatif pada suasana hati dan pikirannya. Hal ini bisa dilihat dari kondisi emosi yang berubah. Cenderung menarik diri dan lebih pasif, 

Keempat, ada perubahan minat, reaksi energi dan aktivitas. Secara fisik pun orang yang mengalami PTSD tidak terlihat aktif. 

"Itulah mengapa orang yang alami PTSD kecenderungan untuk diam, tidak ingin melakukan apa-apa. Tidak melakukan hal yang biasa dia lakukan, terganggu pola makannya, terganggu pola tidurnya," papar Joice lagi. 

Kolase Tribunnews: Irjen Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Brigadir Yosua Hutabarat // Putri Candrawathi terekam CCTV (ISTIMEWA/Tangkap layar YouTube CNN) ((ISTIMEWA/Tangkap layar YouTube CNN))

Lebih lanjut, Joice pun menyebutkan jika PTSD haris ditegakkan dalam sebuah diagnosis. Harus ada alat pengukuran psikologi yang diberikan. 

Tidak bisa dilihat dari gejala perilaku atau perubahan perilaku saja. Harus dibuat alat ukur khusus.

Dan biasanya, diperlukan observasi dan pengamatan dalam perubahan perilaku. Minimal, ada perubahan satu bulan terus menerus seperti itu.

"Pagi siang malam, perilakunya hampir mirip seperti itu. Setelah pengukuran itu, dilihat lagi kalau individu itu tidak bisa melakukan aktivitas yang umum dilakukan," kata Joice lagi. 

Contoh sudah tidak bisa kerja dengan normal, tidak dapat berkonsentrasi belajar hingga membatasi untuk berinteraksi dengan orang-orang.

Bahkan orang PTSD menarik diri dari komunitas atau orang-orang terdekat. Dan ia cenderung untuk memilih berdiam diri.

Selain itu Joice pun mengatakan jika perlu dipahami, perubahan perilaku dalam menegakkan diagnosis tidak berlaku pada beberapa hal tertentu. 

Seperti, orang tersebut tidak sedang dalam penggunaan obat teralaran, karena bisa jadi perilaku yang ditunjukkan serupa. Kedua, tidak berhubungan dengan kondisi medis yang dialami. 

"Misalnya dia mengkonsumsi obat medis tertentu, mengalami gangguan fisik tertentu di otak, atau mengalami trauma fisik. Seperti kecelakaan, benturan, kalau itu terjadi tidak bisa dibilang PTSD secara murni," tegas Joice. 

Baca juga: LPSK Rekomendasikan Kapolri Periksa Putri Candrawathi Diduga Halangi Proses Hukum Kasus Brigadir J

Ia pun menegaskan kembali jika PTSD dan semua gangguan mental, tidak boleh diberikan label sendiri bahwq mengalami gangguan cemas. Tanpa ada pengukuran atau diagnostik secara psikologis atau psikatri. 

"Kita tidak boleh cocokin gejala. Kalau ketakutan, tidak bisa tidur, gak mau makan, dicocokin dengan yang ada internet, kemudian kita liat orang, oh saya begitu juga. Itu tidak boleh karena treatmennya bisa berbeda," pungkasnya. 

Penyebab PTSD

Apa yang menjadi penyebabnya munculnya PTSD? Menurut Joice sebenarnya tidak ada faktor tunggal munculnya PTSD. Semua gangguan mental, sifatnya dilatar belakangi banyak faktor. 

Pertama, bisa jadi dikarenakan riwayat yang muncul dari dalam keluarga. Kecemasan yang intens bisa diturunkan secara genetik. 

Kedua, ada faktor pendukungnya misalnya pola asuh. 

Anak-anak atau individu yang di masa kecilnya pernah mengalami peristiwa kekerasan, atau diabaikan juga bisa memicu gangguan mental. Tidak mendapatkan perhatian dan afeksi yang mencukupi. 

Ketiga, bisa juga dilatarbelakangi zat-zat terlarang seperti alkohol atau narkoba. Keempat, bisa karena mendapatkan peristiwa yang sifatnya tiba-tiba. 

"Contohnya dia dapat kata-kata kasar dari orang lain, yang selama ini dia tidak pernah denger. Dibullly secara luar biasa, itu juga bisa memicu. Tapi belum tentu jadi faktor utamanya ya," papar Joice.

Kelima, faktor lain bisa berkaitan dengan karakter orang tersebut. Misalnya, ia cenderung memiliki sifat over thinking. Banyak mencemaskan hal yang dia prediksikan.

"Barangkali dia ingin waspada, tapi berlebihan levelnya sehingga menimbulkan kecemasan yang intens. Faktor ini bisa berkorelasi," kata Joice lagi. 

Sejauh ini memanf belum ada satu pun teori yang menegaskan faktor utama atau tunggal. Karena manusia punya latarbelakang hidup yang berbeda-beda.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini