TRIBUNNEWS.COM - Rosti Simanjuntak, ibu Brigadir Yosua atau Brigadir J, kurang sehat. Ia mengalami drop.
"Sekarang lagi berobat di Jambi," ucap Roslin Simanjuntak, bibi Brigadir Yosua sekaligus adik Rosti, Kamis (25/8/2022).
Menurut Roslin, kakaknya hingga saat ini masih diliputi kesedihan mendalam. Anaknya, Brigadir J, meninggal dunia. Apalagi meninggal secara tak wajar.
Brigadir J dibunuh dengan cara ditembak di rumah dinas Ferdy Sambo saat masih menjabat sebagai Kadiv Propam Polri, 8 Juli lalu.
Bagi Rosti, menetapkan Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bharada E, Brigadir R, dan Kuat Maruf sebagai tersangka pembunuh anaknya, sama sekali tak mengubah apa-apa.
Sebab, itu tidak bisa mengembalikan sang anak Brigadir J ke pelukannya.
Rosti, lanjut Roslin, kembali drop menjelang acara wisuda almarhum Brigadir J di Universitas Terbuka.
Baca juga: Cerita Kamaruddin Simanjuntak soal Curhat Jenderal Bintang 3 hingga Anak Istri Lolos dari Maut
"Kan janji almarhum dulu kalau dia wisuda keluarga besar akan dibawa ke Jakarta, dan harapan dia mamaknya yang akan meluk dia pada saat wisuda," kata Rosti sembari menahan tangis.
Namun Rosti harus menerima kenyataan bahwa janji tersebut tidak pernah terwujud.
"Mamaknya tidak sanggup ikut ke Jakarta dan akhirnya ayah Almarhum yang mewakili," ucapnya.
Diketahui sebelumnya, kondisi Ibu Brigadir Yosua drop sejak saat itu, dirinya berada di rumah anak pertama, yakni Yuni Simanjuntak di Kota Jambi.
Sempat dirawat di RS Bhayangkara Jambi, kini telah dirawat di rumah anaknya di Kota Jambi.
Roslin menjelaskan Rosti sudah menjalani pemeriksaan kesehatan, mulai dari cek lab hingga rontgen. Namun, dokter tidak ditemukan penyakit.
Kata Roslin karena yang terkena adalah mental dan psikisnya yang membuat Rosti selalu bersedih.
Apa sebenarnya yang dialami ibunda Brigadir J?
Tidak ada yang mau ditinggal pergi selamanya oleh orang tersayang. Rasa sedih dan kehilangan mendalam tentu hadir di tengah peristiwa memilukan tersebut.
Namun tahukah Anda, kematian orang tercinta juga bisa menyebabkan gangguan mental? Itulah yang dialami Rosti Simanjuntak, ibunda Brigadir J.
Seperti diberitakan Kompas.com, rasa sedih adalah hal yang wajar terjadi ketika kita kehilangan orang tercinta.
Kesedihan tersebut biasanya diekspresikan secara fisik, emosional, dan psikologis.
Misalnya, menangis adalah ekspresi fisik, sedangkan depresi adalah ekspresi psikologis.
Jika kesedihan tersebut terus berlaru-larut, bisa jadi adalah pertanda dari prolonged grief disorder.
Prolonged grief disorder merupakan gangguan kesedihan yang berkepanjangan mengacu pada sindrom yang terdiri dari serangkaian gejala yang berbeda setelah kematian orang yang dicintai.
Seseorang yang mengalami sindrom tersebut biasanya mengalami kesedihan mendalam secara intesif selama lebih dari 12 bulan usai kematian orang yang dicintainya.
Biasanya, kesedihan berlarut-larut tersebut menyebabkan seseorang selalu teringat pada orang yang dicintainya hingga mengganggu aspek-aspek lain kehidupan mereka.
Namun, ada juga yang berusaha menghindari ingatan atau kegiatan yang mengingatkan mereka akan peristiwa kehilangan tersebut.
Bahaya prolonged grief disorder Melansir Mayo Clinic, prolonged grief disorder dapat memengaruhi kita secara fisik, mental, dan sosial.
Tanpa perawatan yang tepat, sindrom tersebut bisa menyebabkan berbagai komplikasi seperti:
- Depresi
- Pikiran atau perilaku bunuh diri
- Kecemasan, termasuk PTSD
- Gangguan tidur yang signifikan
- Peningkatan risiko penyakit fisik, seperti penyakit jantung, kanker atau tekanan darah tinggi
- Kesulitan jangka panjang dengan kehidupan sehari-hari, hubungan atau aktivitas kerja
- Alkohol, penggunaan nikotin, atau penyalahgunaan zat.
Melansir laman Psycom.net, kematian orang tersayang yang terjadi secara tiba-tiba bisa menimbulkan respons emosional yang kuat.
Hal inilah yang bisa memicu terjadinya gejala prolonged grief disorder.
Menurut riset yang diterbitkan dalam US National Library of Medicine National Institutes of Health, kematian orang tersayang - terutama jika terjadi secara tiba-tiba - akan menimbulkan pengalaman traumatis.
Pengalaman duka tersebut juga bisa mendatangkan episode depresi, gangguan panik dan gangguan stres pasca trauma, yang merupakan bagian dari Prolonged grief disorder.
Cara mencegah dan mengatasinya
Melansir Psychology Today, kesedihan adalah hal yang wajar terjadi dalam diri manusia.
Namun, kesedihan terlalu larut bisa berdampak buruk pada kesehatan, tertama kesehatan mental.
Untuk menghindari berbagai efek tersebut, kita harus membiarkan diri mengekspresikan rasa sedih tersebut.
Menurut American Psychological Association, mencegah kesedihan berlarut-larut karena kehilangan orang tersayang bisa dilakukan dengan cara berikut:
1. Menerima rasa sedih yang datang
Ketika rasa sedih itu datang, jangan mencoba untuk memendamnya.
Memendam rasa sedih tak akan membuat kesedihan itu menghilang tetapi justru mengakitbatkan efek yang merusak kesehatan kita.
Sebagai solusi, cobalah untuk mencurahkan isi hati kepada mereka teman atau keluarga.
Melakukan hal ini bisa membuat perasaan duka yang dialami terasa lebih ringan.
2. Melakukan perawatan diri
Selain membutuhkan dukungan dari orang lain, mengatasi duka karena kematian orang tercinta juga harus kita lakukan sendiri.
Kita bisa melakukannya dengan menemukan hobi yang kita sukai sebagai pelipur lara dan mengambil waktu berlibur untuk melepas stres.
Kematian orang tersayang juga bisa mempengaruhi kesehatan kita. Oleh karena itu, kita juga harus melakukan perawatan diri demi kesehatan fisik dan emosional kita.
3. Menerima kenyataan
Kehilangan oang terkasih pasti akan membuat kita bertanya-tanya mengapa hal buruk itu menimpa kita.
Daripada mencari jawaban yang tak pasti, sebaiknya kita menerima kenyataan yang telah terjadi.
Menerima kenyataan akan membuat beban di hati terasa lebih ringan.
Bagi mereka yang telah mengalami prolonged grief disorder, sebaiknya segera meinta bantua ahli jiwa.
Pasalnya, ahli jiwa akan memberikan berbagai metode psikoterapi, seperti terapi CBT dan CGT.
Menurut National Cancer Institute, cognitive Behavioral Therapy (CBT) dan Complicated Grief Treatment (CGT) dapat membantu mereka yang mengalami prolonged grief disorder.
CBT berfokus pada perubahan pola pikir pasien untuk mengubah respons mereka terhadap situasi sulit.
Sedangkan CGT merupakan terapi yang melibatkan menetapkan tujuan pemulihan, membahas kematian, dan membuat rencana untuk masa depan.
Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJambi.com dengan judul Ini Penyebab Kondisi Psikis Ibu Brigadir Yosua Kembali Drop