"Jadi mereka (prajurit TNI) tuh suka. Mungkin juga bosan ya kalau mereka cuma setiap hari tuh baris berbaris atau apa. Tapi sekarang ada tantangan. Bagaimana menghapalkan sebuah blocking. Berantem kan bukan berantem aja ya, ternyata berantem tuh ada blockingnya," sambungnya.
Sutradara film tersebut, Rahabi Mandra, mengamini hal tersebut juga menjadi tantangan yang dihadapinya dalam menyutradarai film tersebut.
Tantangan tersebut, kata dia, antara lain adalah melatih akting para prajurit TNI.
"Dan kalau action itu kan gak cuma acting ya. Latihan kena tembak, latihan jatuh. Itu ternyata beda. Mereka (prajurit TNI) pikir jatuh seperti itu. Enggak, jatuh harus goyang dikit biar kelihatan, nanti baru jatuh. Nggak bisa langsung jatuh," ungkapnya.
"Kita semua tau kalau kena tembak langsung jatuh. Cuma gak ditambah dikit. Dan kita emang melibatkan mereka juga. Sebanyak mungkin," sambungnya.
Pria yang akrab disapa Abi itu juga menjelaskan pihaknya juga melakukan riset mendalam untuk mengejar akurasi sejarah dalam film tersebut.
Riset tersebut, kata Abi, tidak hanya dilakukan dengan membaca buku melainkan juga mewawancarai para veteran perang yang masih hidup dan keluarganya.
Riset itu, juga dilakukan untuk menampilkan properti hingga adegan dalam film sedekat mungkin dengan situasi sejarah aslinya.
"Ini adalah challenge-nya kita. Oke baik, kalau kita memang mau bikin film perang kali ini, mari kita bikin yang betul. Yang semuanya otentik," kata dia.
"Jadi ketika dilihat, ya memang sejarahnya dulu seperti itu. Orang tuh jadi bisa nonton ini yang terjadi waktu itu ditonton, pakaiannya memang begini, gaya bicaranya memang begini, gayanya memang begini, gaya nembaknya aja beda. Tahun berapa sama tahun berapa," sambungnya.