Legenda Eusebio dibangun oleh kebanggaan orang-orang Portugal. Mereka tidak datang ke Inggris sebagai unggulan, tapi mampu merangsek hingga semifinal.
Dalam My Name is Eusebio, sebuah otobiografi yang terbit tahun 1967, Eusebio bilang, “Mereka (rakyat Portugal) memperlakukan kami seperti pahlawan yang pulang dari medan perang. Saya tidak bisa melakukan apapun kecuali menangis.”
Terlepas dari pengakuannya, tepat setengah abad setelah momentum bersejarah di Inggris itu, Cristiano Ronaldo memiliki kesempatan untuk membangun legendanya sendiri.
Ia hanya berjarak satu langkah dari titik fenomenal tersebut. Jika tak ada peristiwa luar biasa, seperti cedera dan semacamnya, Senin dinihari (waktu Indonesia), 11 Juli 2016 di Stade de France, Paris, Ronaldo akan menjadi kapten Portugal pada laga final Euro kontra Perancis.
Mungkin tak banyak yang mengira Portugal akan sampai di partai puncak. Terutama sekali setelah tampil menyedihkan di tiga pertandingan babak penyisihan grup.
Bahkan sekiranya dua gol Ronaldo tidak membobol gawang Gabor Kiraly, kiper Hungaria yang bercelana lucu itu, Portugal tidak akan meraih tiket perdelapan final.
Di fase ini, Portugal kembali bermain buruk. Tertatih dan setengah mati digempur Kroasia. Tapi Ronaldo mendapat sedikit angin di akhir paruh kedua babak perpanjangan waktu, dan Kroasia pun terjengkang.
Di perempat final dan semifinal, jika dipandang dari sisi teknis, performa mereka juga tidak banyak berubah. Hanya Ronaldo yang jadi pembeda.
Dan itu, dilakukannya pascamendapatkan perisakan dari berbagai penjuru dunia akibat komentarnya yang songong perihal Islandia, plus kegagalannya mencetak gol dari titik putih saat kontra Austria.
Satu representasi dari mental yang mumpuni. Rob Smyth, sport writer Inggris dalam kolomnya di Guardian, bahkan menyebut Ronaldo sebagai The Revenant, Hugh Glass, pemburu dan penjelajah legendaris Amerika Serikat, yang karakter kuatnya mengantarkan Leonardo DiCaprio meraih Oscar.
“Ronaldo percaya bahwa dia memiliki kualitas tinggi. Dia tidak peduli pada semua tekanan. Sebaliknya, di dalam tekanan, dia bangkit. Dia selalu dapat menemukan celah untuk keluar dari kesulitan. Barangkali jika orang lain berada dalam posisi yang sama, tidak akan mampu beranjak sejauh yang dilakukan Ronaldo,” tulisnya.
Yang menjadi pertanyaan terbesar, apakah legenda Ronaldo akan benar-benar lahir di Stade de France. Atau justru Antoine Griezmann, La Petit Prince, Sang Pangeran Kecil, yang beranjak jadi seorang raja. Atau Didier Deschamps? Jika Perancis menang, Deshamps akan masuk jajaran elite pelatih dunia. Yakni mereka yang mampu menjadi pemenang baik sebagai pemain maupun pelatih.
Sejauh ini, untuk level tim nasional, hanya dua orang yang mencapainya. Mario Zagalo menjadi anggota skuat tim nasional Brasil di Piala Dunia 1958 dan 1962, lalu memenangkannya lagi sebagai pelatih di tahun 1970 dan 1994, berduet dengan Carlos Alberto Pariera.
Lalu tentu saja Franz Beckenbeauer. Der Kaizer –demikian julukannya– menjadi kapten Jerman yang memenangkan Piala Eropa 1972 dan Piala Dunia 1974, dan sebagai pelatih menang di Piala Dunia 1990.