"Itu kesalahan besar. Memalukan karena kami ternyata melakukannya. Dan saya pastikan ini tidak akan terjadi lagi," kata Pelatih Thailand, Kiatisuk Senamuang, pada fourfourtwo.
"Kali ini akan berbeda. Indonesia punya semangat yang berbeda. Ini final. Mereka punya pemain bagus dan strategi yang bagus. Tidak akan mudah bagi kami," ujarnya menambahkan.
Kalimat Kiatisuk boleh jadi diplomatis belaka. Kalimat yang seolah merendah padahal sebenarnya tidak. Kalimatnya adalah kepongahan yang terselubung.
Kiatisuk paham betul pasukannya memiliki kualitas setingkat di atas Indonesia. Mereka sudah masuk jajaran elite Asia –bersama-sama Jepang, Korea Selatan, Arab Saudi, dan "tamu dari Oceania", Australia. Sedangkan Indonesia masih terkutat di level Asia Tenggara. Sepakbola Indonesia, suka tak suka, mesti diakui jalan di tempat, untuk tidak menyebutnya tertinggal, terutama karena nyaris dua tahun terasingkan dari "pergaulan" Internasional akibat sanksi FIFA.
Apakah dengan begitu maka peluang Indonesia tertutup? Tentu saja tidak. Unggul bukan berarti tidak bisa dikalahkan. Indonesia masih punya asa, karena di balik segenap keperkasaannya bagi kelas Asia Tenggara, Thailand punya kelemahan. Ada celah yang bisa dimanfaatkan. Celah yang kelihatan begitu jelas saat mereka bentrok kontra Singapura, 22 November 2016.
Thailand di bawah Kiatisuk Senamuang adalah Thailand yang sangat offensif. Maklum, Kiatisuk adalah bekas penyerang, legenda nomor satu di negerinya. Formasi 4-4-2, yang bisa cepat berubah menjadi 4-3-1-2 bahkan 4-3-3 saat bola berada di kaki mereka, menjadi teror yang mengerikan bagi lawan. Terutama sekali yang bermain dengan tipikal serupa.
Indonesia pada saat skor 2-2 nekat menyerang. Merasa punya peluang Riedl memasukkan Evan Dimas Damono, Ferdinand Sinaga, dan Zulham Zamrun. Pemain-pemain berkarakter menyerang. Akibatnya, lapis pertahanan Indonesia jadi lebih rapuh dan ini jadi santapan empuk mereka. Teerasil Dangda mengemas hattrick yang mengereknya ke puncak daftar pencetak gol terbanyak.
TEERASIL Dangda
V. Sundramoorthy, pelatih Singapura, tak melakukan kesalahan serupa. Paham sulit mengimbangi Thailand dalam permainan cepat dan terbuka, Sundramoorthy merancang strategi menumpuk pemain di lini belakang dan tengah dan melakukan perlambatan tempo.
Berhasil? Dari sisi hasil tidak. Singapura kalah 0-1. Akan tetapi, Sundramoorthy setidaknya menunjukkan bahwa Thailand bisa diredam dengan permainan yang lebih sabar. Gol Thailand baru tercipta di menit 89, setelah Kiatisuk mengubah formasi empat bek menjadi tiga bek, menambah jumlah penyerang.
"Di lain sisi, kami agak diuntungkan karena mereka (Singapura) gugup di menit- menit terakhir itu. Konsentrasi mereka tak terjaga dan kami mengambilnya sebagai keuntungan," ucap Kiatisuk pada Football Chanel Asia.
Persoalannya, kemampuan pemain-pemain Indonesia untuk menjaga konsentrasi juga tidak bisa dikatakan baik. Indonesia menerapkan strategi yang sama dengan Singapura kala bentrok dengan Vietnam di Ho Chi Minh. Riedl mengubah formasi empat gelandang menjadi lima, dan menempatkan dua gelandang bertahan, Manahati Lestusen dan Bayu Pradana.
BAYU Pradana
Namun konsentrasi yang buyar nyaris menghadirkan celaka dua belas. Riedl harus mampu membangun kepercayaan diri pemain.
Sebab apabila tragedi menit terakhir di Ho Chi Minh terulang, Indonesia hampir pasti akan terkapar. Thailand punya mental yang jauh lebih kuat dari Vietnam. (t agus khaidir)