TRIBUNNEWS.COM - Carlo Tavecchio, Presiden FIGC pada tahun 2014, dibuat bingung dengan hasil Italia di Piala Dunia 2014 di Brasil.
Meskipun menjadi runner-up Euro 2012, Italia bukanlah unggulan saat itu, persiapan mereka dihantui banyak masalah.
Mulai dari cidera, pemilihan pelatih, dan yang paling vital, komposisi starting line-up.
Italia pada akhirnya gagal lolos dari Fase grup.
Tavecchio membutuhkan prestasi untuk memulihkan nama baiknya, untuk itu, ditunjuklah Antonio Conte sebagai pelatih untuk Euro 2016.
Baca juga: Makna Kelolosan Inggris ke Final Euro 2021: Mereka Bukan Tim Sepak Bola, Melainkan Keluarga
Baca juga: Final Impian Euro 2021: Patahkan Kutukan Semifinal, Momentum Inggris Pecah Telur di Wembley
Conte adalah pria yang sangat patriotik, namun Italia saat itu sedang dalam masa transisi.
Skuat yang dimiliki, menurut publik Italia adalah yang paling lemah sejak Piala Dunia 1950, di mana ketika itu bersamaan dengan tragedi Superga Il Grande Torino.
Euro 2016 menjadi bencana, Conte sudah memutuskan bergabung dengan Chelsea bahkan sebelum turnamen usai, publik Italia geram dengan permainan Gli Azzuri.
Tavecchio kemudian memilih Gian Piero Ventura sebagai pelatih kepala.
Ia dikontrak hingga 2017, namun mendapatkan perpanjangan kontrak hingga 2020, sampai tragedi kualifikasi Piala Dunia menjadi titik balik.
Gian Piero Ventura, bukanlah pria yang bisa ditebak, menghadapi Spanyol, Italia turun dengan formasi aneh 4-2-4.
Menghadapi Spanyol yang di Euro 2016 mereka kalahkan 2-0, Italia tidak berkutik, mereka kalah 3-0 dan disebut sebagai permainan paling memalukan Italia sepanjang sejarah.
Gian Piero Ventura tiba-tiba kehilangan segalanya, kepercayaan publik, pers hingga pemain.
Tekanan besar datang untuk Timnas Italia, Tavecchio hampir tidak membantu Ventura dengan mengatakan: "Saya akan menganggap prospek tidak lolos ke Piala Dunia seperti kiamat."