TRIBUNNEWS.COM - Liga Italia bukan hanya perihal persaingan scudeto antara Inter dan AC Milan.
Di sisi lain, ada persaingan gengsi antara Maurizio Sarri dan Jose Mourinho yang menakhodai dua rival akut Lazio dan AS Roma.
Kedua tim sama-sama terlempar dari perburuan juara sejak pertengahan musim, namun gengsi untuk finish di posisi lebih atas menjadi hal yang begitu menarik untuk disorot.
Dengan tangan dingin Sarri, skuat seadanya Lazio berada di posisi yang pas untuk mengamankan tiket bermain di liga Eropa musim depan.
Ya, Lazio berada di peringkat lima klasemen Liga Italia, sedangkan AS Roma berdiri tepat di bawah Lazio dengan jarak tiga poin.
Dapat dipastikan, tim asuhan Jose Mourinho akan berada di bawah Lazio pada klasemen akhir Liga Italia.
Baca juga: Eintracht Frankfurt vs Rangers: Tuntaskan Mimpi, Dua Tim Kejutan Berlaga di Final Liga Europa
Baca juga: Arsenal dan Predikat Medioker yang Enggan Hilang: Kacau di Liga Inggris & Pesimistis Mikel Arteta
Secara agresifitas gol, tim Maurizio Sarri lebih produktif dari AS Roma dan akan sulit dikejar oleh pasukan Mourinho.
Skema 4-3-3 ala Sarri atau biasa disebut Sarriball, memberinya kepercayaan diri untuk membuktikan prinsip pertahanan terbaik adalah menyerang.
Untuk mewujudkan ambisinya, eks pelatih Chelsea tersebut membutuhkan tim yang banyak dan kuat dalam hal menguasai bola.
Itulah yang menjadi alasan, tiap klub yang dilatih Sarri akan banyak melakukan pergerakan tanpa bola saat melakukan serangan.
Hal tersebut berguna dalam memecah konsetrasi lawan sekaligus menciptakan banyak ruang untuk semakin banyak menguasai pertandingan.
Dengan begitu, Sarri membutuhkan gelandang cerdas yang memiliki visi bermain dan ketangguhan saat memegang bola.
Pun dengan full back yang dimiliki, full back dengan tipikal menyerang dan memiliki kemampuan dribel mumpuni adalah yang dibutuhkan Sarri.
Ketika di Chelsea misalnya, ia rela 'menenteng' Jorginho untuk ikut bersamanya pindah ke Stamford Bridge, padahal sang pemain mengaku nyaman berada di Napoli.