Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, NEW YORK - Facebook dan anak perusahaannya, Instagram akan terus memblokir akun Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump hingga Presiden Terpilih Joe Biden menduduki Oval Office.
CEO Facebook Mark Zuckerberg menyebut aksi kerusuhan yang dilakukan simpatisan Trump pada hari Rabu di Capitol jadi alasan di balik pemblokiran tersebut.
"Risiko mengizinkan Presiden (Trump) untuk terus menggunakan layanan kami, selama menjelang pelantikan Biden 'terlalu besar'," kata Zuckerberg.
Ia mengumumkan hal itu dalam sebuah postingan pada Kamis kemarin bahwa akun Trump akan tetap diblokir, setidaknya hingga dua pekan ke depan.
Baca juga: Donald Trump Kena Semprit Twitter karena Melanggar, Akunnya Dibekukan Selama 12 Jam
Dikutip dari laman Russia Today, Jumat (8/1/2021), Zuckerberg menyebut Trump bermaksud menggunakan sisa waktunya di Gedung Putih untuk merusak momen transisi kekuasaan yang damai dan sah ke Biden.
Baca juga: Donald Trump Akhirnya Akui Kemenangan Joe Biden Pasca Aksi Rusuh di Capitol
Menurutnya, Trump bisa saja sengaja menggunakan Facebook untuk menghasut pemberontakan dengan aksi kekerasan terhadap pemerintah yang dipilih secara demokratis.
Zuckerberg mengklaim bahwa postingan terbaru Trump terkait kecaman terhadap 'pemilihan presiden yang dicuri' dimaksudkan untuk memprovokasi kekerasan lebih lanjut antara pendukung dan musuh.
"Ia bersikeras seluruh negara sekarang harus bergabung bersama untuk memastikan pelantikan Biden jauh dari kata damai dan sesuai dengan norma demokrasi yang ditetapkan," trgas Zuckerberg.
Sebelumnya, raksasa media sosial itu telah menghapus atau memberi label pada beberapa postingan Trump hari Rabu lalu, saat para pendukungnya mulai menyerbu Capitol Hill.
Facebook menyebut postingan Trump sebagai hasutan untuk melakukan tindakan kekerasan.
Jika Trump diizinkan untuk terus memposting, Zuckerberg menilai Trump hanya akan terus memprovokasi para pendukungnya.
Zuckerberg mengakui bahwa platformnya sebelumnya telah mengizinkan Trump dan tokoh kontroversial lainnya untuk memposting konten yang tidak pantas.
Hal ini dilandasi alasan bahwa publik 'memiliki hak untuk akses seluas mungkin untuk informasi politik'.
Namun ia mengklaim konteks saat itu secara fundamental berbeda dengan apa yang terjadi saat ini.
Karena saat ini, kerusuhan muncul kurang dari sebulan masa pemerintahan Trump.
Di sisi lain, Trump sejak lama telah berulang kali berjanji untuk melucuti Facebook dan media sosial sejenisnya.
Kerusuhan yang terjadi sejak Rabu lalu di Capitol Hill menewaskan empat orang, termasuk seorang veteran Angkatan Udara, Ashli Babbitt yang ditembak oleh polisi saat mencoba mendobrak pintu gedung Capitol.
Sedangkan tiga orang lainnya, disebut polisi tewas karena kondisi 'darurat medis'.
Sementara pihak berwenang sangat menyadari bahwa simpatisan pro Trump itu berencana melakukan aksi di Washington pada hari itu.
Saat kekacauan terjadi, Trump akhirnya mendesak simpatisannya untuk menghentikan aksi dengan alasan 'kedamaian'.
Namun, dorongan itu dipandang oleh beberapa orang sebagai dukungan atas tindakan simpatisannya dalam mengganggu penghitungan suara Electoral College.