Masalahnya, Indonesia dan banyak negara, bahkan AS belum memiliki aturan perundangan yang sasarannya OTT, bisnis yang wujudnya tidak terdeteksi, dikendalikan dari luar negeri meski sasaran konsumennya di dalam negeri.
Di beberapa negara Google dan kawan-kawan lolos dari gugatan supaya membayar pajak karena mereka melakukan bisnisnya dari luar yurisdiksi negara yang menggugatnya. Secara teknis pun, sulit mencegat masuknya iklan-iklan dari Google dan OTT lain, tanpa ada regulasi yang jelas dan beralasan kuat untuk memidana pelaku OTT.
Jangankan membuat regulasi anti-OTT, mengajak mereka untuk mendaftarkan diri sebagai PSE (penyelenggara sistem elektronik) lingkup privat saja, Google masih berkelit. Alasannya mereka tidak punya kantor perwakilan di sini dan yang disebut Google di Indonesia hanyalah kantor perwakilan.
Padahal pemerintah (kominfo) sudah menegaskan bahwa pendaftaran PSE ini hanya untuk pendataan bukan untuk memajaki mereka.
Baca juga: Google Luncurkan Street View di India, Enam Tahun Lalu Pernah Ditolak
Terasa kesulitan kalau negara membuat regulasi anti-OTT karena bisnis mereka tidak berwujud, tidak bisa diraba, tidak bisa dilihat, karena hanya merambat saja tidak masuk jaringan operator.
Ia memberikan contoh sebenarnya pernah ada di peradilan pidana Indonesia beberapa dekade lalu, soal kasus pencurian listrik. Jaksa tidak bisa membuktikan atau mengajukan bukti fisik tentang bentuk listrik yang diperkarakan pencuriannya.
Akhirnya dengan yurisprudensi, keputusan hukum tentang hal yang belum pernah terjadi, tetapi lalu diikuti seterusnya, pencurian listrik bisa dipidana.
“Harus mau bersusah payah membangun payung hukumnya lebih dulu, tetapi pemerintah akan menghitung untung-ruginya dengan cermat. Ribet di DPR dalam mengajukan draft rencana UU (UU), ribetnya di dunia maya yang bisa saja dibuat oleh yang berkepentingan agar RUU itu ditolak masyarakat,” terangnya.
Hendro juga menyebutkan di pihak kementerian keuangan akan ribet menetapkan formula pasal-pasalnya agar UU anti-OTT itu bisa keras tegas dan “bengis”, sehingga pemerintah dapat sumber revenue berupa pajak untuk APBN-nya. Lobi-lobi dari berbagai pihak yang berkepentingan menjelang draft RUU disampaikan ke DPR juga harus bisa diredam, terutama untuk “menjinakkan” legislator.
Namun pada dasarnya, ketika seseorang membuat bisnis di satu temat walau bukan dengan cara membuka lapak, tetapi melempar barang dagangan dari balik pagar, jika ia mendapat untung, wajib hukumnya membagi keuntungan itu kepada negara “yang dilempar”.
Belum ada Rencana Bikin Platform Serupa
Sementara itu Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) meyampaikan saat ini pemerintah belum memiliki rencana dalam pembuatan platform mesin pencari layaknya Google.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengatakan, anggaran pemerintah Indonesia masih berfokus terhadap penanganan dampak pandemi Covid-19 saat ini.
"Saat ini, kita belum menyiapkannya karena memang kita punya waktu dan biaya selama ini kan lebih banyak perhatiannya untuk menangani Covid-19," pungkas Johnny di Gedung Kementerian Kominfo, Senin (8/8/2022).