Untuk mencegah dampak negatif keberadaan AI, Usman mengungkapkan perlunya tata kelola agar dapat dilakukan secara aman dan produktif.
Diketahui, sejumlah negara juga telah merumuskan kebijakan tata kelola AI.
Menurut Usman, dampak pemanfaatan AI masih dapat diakomodasi melalui kebijakan existing seperti Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, hingga Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP).
Baca juga: WEF: Teknologi AI Ancam Perekonomian Global, Bisa Picu Kesenjangan Hingga Tsunami PHK
Perangkat hukum yang ada saat ini diharapkan dapat digunakan untuk menindak para pelaku yang terindikasi melakukan pelanggaran hukum.
Beberapa negara seperti seperti Uni Eropa, China dan Brazil telah melakukan pengaturan yang beragam.
Ada yang berupa Executive Order untuk mengidentifikasi potensi dan risiko AI serta mekanisme pengawasan agar tidak mengurangi hak fundamental warga. Selanjutnya EU AI Act yang menekankan prinsip human-centric.
Saat ini, Indonesia telah memiliki Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial dengan fokus pengembangan dan penerapan AI.
Kementerian Kominfo juga tengah menyelesaikan Surat Edaran Menteri Kominfo tentang Etika Kecerdasan Artifisial.
Baca juga: Israel Sengaja Targetkan Infrastruktur Sipil di Gaza dengan Menggunakan Teknologi AI
SE yang berisi panduan umum nilai, etika, dan kontrol kegiatan yang memanfaatkan AI, bisa menjadi batu loncatan dalam menyusun regulasi ke depan.
"Surat edaran tersebut mendorong, organisasi perusahaan yang menggunakan ataupun mengembangkan AI ini berpedoman pada prinsip-prinsip tersebut. Yang paling penting prinsipnya adalah akuntabilitas dan Human Center artinya berpusat kepada manusia, karena ada kekhawatiran AI ini akan membunuh peradaban manusia," papar Usman.
"Kemudian yang kedua, sebetulnya dalam beberapa tingkat sudah ada regulasi yang mengatur AI, tapi belum komprehensif, hanya parsial misalnya seperti Undang-Undang ITE, Undang-Undang PDP, itu sudah mengatur AI, tapi parsial," pungkasnya.