Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kehadiran Teknologi kecerdasan buatan alias Artificial Intelligence (AI) disebut-sebut memberikan dampak terhadap industri media massa.
AI kini secara spesifik dapat digunakan dalam membuat karya jurnalistik atau artikel pemberitaan yang dipublikasikan pada ruang digital.
Bahkan kini teknologi AI mampu digunakan untuk menemukan sudut pandang konstruksi berpikir, meneruskan badan berita, hingga analisis data besar untuk mengidentifikasi tren.
Baca juga: Ancaman Teknologi AI Ganti Karyawan Mulai Nyata, Google PHK Ratusan Staf
Lantas, jika AI benar-benar mampu menggantikan peran para jurnalis dan merubah dunia pers, apa dampaknya?
Chief Executive Officer (CEO) Tribun Network, Dahlan Dahi mengungkapkan, jika AI sepenuhnya menggantikan peran wartawan, maka hal tersebut bakal memberikan sejumlah dampak.
"Apa yang bangsa ini kehilangan kalau wartawan atau media tidak ada? Kalau media yang kredibel tidak ada?" ujar Dahlan pada Forum Diskusi Media dengan tema AI dan Keberlanjutan Media di Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta, Senin (29/1/2024).
"Menurut saya bangsa ini akan kehilangan pembanding atau fungsi klarifikasi informasi. Karena semua orang bisa mencari, menulis, dan melaporkan informasi," sambungnya.
Kedua, lanjut Dahlan, media massa yang selalu menyajikan produk jurnalistik kepada publik, pada dasarnya memegang prinsip independensi dan netralitas.
Yang artinya media massa atau pers memegang teguh aspek produk jurnalistik yang berimbang, akurat, dan tidak memihak kecuali demi kepentingan publik.
Apabila produk jurnalistik tersebut tak dilahirkan dari suatu lembaga yang netral, maka negara bisa kacau.
Baca juga: WEF: Teknologi AI Ancam Perekonomian Global, Bisa Picu Kesenjangan Hingga Tsunami PHK
"Kedua, perlu tetap ada sumber atau lembaga yang netral secara politik, yang itu berfungsi seperti negarawan, tidak seperti politisi. Nah fungsi ini harus ada, kalau fungsi ini enggak ada ya negara ini bisa kacau," ungkap Dahlan.
"Dan ketiga, seharusnya ada lembaga yang bisa memberitahu kita seperti ini suatu hal yang membanggakan bagi bangsa dan negara. Seperti (kesuksesan) Timnas seperti kemarin," lanjutnya.
Untuk itu, Dahlan meminta Pemerintah melakukan langkah intervensi untuk mengatur teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Menurut Dahlan, Pemerintah harus membuat regulasi agar pemanfaatan AI dapat dirasakan manfaatnya oleh publik.
"Kalau puncak daripada internet adalah Google, Facebook, dan Tiktok. AI sedang memulai dan ini big player-nya adalah Microsoft. Mari kita atur dari sekarang sebelum dia terlalu kuat untuk kita atur seperti Google dan Facebook hari ini," ujar Dahlan.
Dahlan menyoroti pemanfaatan data yang dilakukan oleh AI dan platform lainnya.
Data tersebut, kata Dahlan, adalah milik masyarakat Indonesia, namun tidak bisa diakses karena dikuasai oleh perusahaan teknologi.
Sehingga, Dahlan menilai pemanfaatan data yang terdapat dalam AI harus mampu diatur oleh Pemerintah.
"Ada banyak hal yang mesti diatur kayak bagaimana datanya. Sekarang data kita itu semua disimpan di luar. Amazon, tencent, Alibaba, Huawei semua infrastrukturnya Bukan punya kita. Jadi kita punya datanya tapi tidak punya akses ya," ungkap Dahlan.
"So itu mahal data itu. Jadi bagaimana Pemerintah menemukan bentuk intervensi yang pas di era AI," pungkasnya.