TRIBUNNEWS.COM - Guncangan mobil diayun jalanan Desa Sendangsari, berakhir di sebuah turunan landai, di tepi Tempuran Ngancar atau persuaan Sungai Bedhog dan Sungai Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Gemeresik pepohonan di lereng yang teduh menyusup di antara pondok-pondok kecil di Rumah Makan Legokan Ngancar.
Mendaki tangga dapur utama, senyum ramah Basri (62) dan Surat (53), suami-istri pengelola warung makan itu, menyambut.
”Hari ini, semua menu tersedia, kecuali ikan sidat. Sudah dua hari ini tidak ada tangkapan ikan sidat. Stok kami habis diborong tamu dari Jakarta,” tutur Basri.
Segala menu yang disajikan di Rumah Makan Legokan Ngancar adalah olahan berbagai jenis tangkapan para warga Dusun Mangir yang memancing atau menjala ikan di muara Sungai Bedhog. Ikan sidat sayangnya tidak tersedia, tapi tebaran harum gurih ikan gabus yang sedang digoreng menjanjikan.
”Ikan gabus pilihan terbaik setelah ikan sidat tentunya,” kata Surat tertawa.
”Mau digoreng saja atau dimangut?” tanya Surat menawarkan cara masakan ikan gabus dengan santan yang gurih dan sedikit pedas itu.
”Udang goreng ada, wader goreng juga ada. Sambalnya kami punya banyak jenis sambal, tapi saya sarankan mencoba sambal belut,” Basri menawarkan.
Sementara Surat bergegas memetik batang keladi dari kebunnya, menyiapkan sayur lompong pesanan.
Sambal belut ala Rumah Makan Legokan Ngancar
Ki Ageng Mangir
Di warung Basri dan Surat, tiap sajian baru dimasak setelah dipesan. Kami menunggu 40 menit sebelum santapan datang. Teh panas dengan gula batu menjadi teman pas duduk-duduk di pondok-pondok kecil yang berjajar di tepi tempuran Sungai Bedhog dan Progo.
Pintu air yang memisahkan Sungai Bedhog dan Sungai Progo yang juga menjadi ”jembatan” penghubung antara Dusun Mangir dan Dusun Siangan selalu penuh dengan pemancing. Langkah kaki menelusurinya membawa mata menatap hamparan Sungai Progo yang luas, memisahkan Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo.