Laporan Wartawan Tribun Bali/Zaenal Nur Arifin
TRIBUNNEWS.COM, MANGUPURA - Sebuah kompleks peribadatan umat Hindu dibangun di atas tebing terjal yang menjorok ke laut hanya dapat ditemukan di Pura Luhur Uluwatu, daerah selatan Kabupaten Badung.
Bukan hanya suasana sakral dan religius yang akan dapat dinikmati oleh warga yang ingin beribadah maupun untuk berwisata, namun panorama alam yang memukau seperti terbenamnya matahari akan didapatkan di sini.
Pura Luhur Uluwatu merupakan salah satu dari pura-pura yang memiliki status sebagai Pura Sad Kahyangan Jagat, yaitu pura yang dianggap sebagai penyangga poros mata angin di Pulau Bali.
Kompleks peribadatan umat Hindu dibangun di atas tebing terjal, Pura Luhur Uluwatu, daerah selatan Kabupaten Badung. (Tribun Bali/Zaenal Nur Arifin)
Menurut cerita masyarakat setempat, pura ini telah dibangun sejak abad ke-11 oleh Mpu Kuturan.
Ketika itu, Pura Luhur Uluwatu menjadi tempat pemujaan bagi Dewa Rudra untuk memohon keselamatan.
Selain membangun sebuah pura, Mpu Kuturan juga dipercaya telah mewariskan aturan dan tata-tertib bagi desa-desa adat di sekitar pura yang masih dikenal hingga saat ini.
Pura Luhur Uluwatu mempunyai beberapa pura pesanakan, yaitu pura yang memiliki kaitan erat dengan pura induk.
Pura-pura pesanakan tersebut antara lain Pura Bajurit, Pura Pererepan, Pura Kulat, Pura Dalem Selonding, dan Pura Dalem Pangleburan.
Pura-pura ini berhubungan langsung dengan Pura Luhur Uluwatu pada saat Piodalan, yaitu pemujaan terhadap Sang Hyang Widi yang berlangsung setiap 210 hari, pada hari Selasa Kliwon Wuku Medangsia.
Pemandangan dari Kompleks Pura Luhur Uluwatu, daerah selatan Kabupaten Badung. (Tribun Bali/Zaenal Nur Arifin)
Sebelum memasuki pura, wisatawan diwajibkan untuk mengenakan pakaian khusus, yaitu kain sarung untuk mereka yang mengenakan celana atau rok di atas lutut, serta selendang untuk wisatawan yang memakai celana atau rok di bawah lutut.
Kain sarung dan selendang berwarna kuning (salempot) tersebut menyimbolkan penghormatan terhadap kesucian pura, serta mengandung makna sebagai pengikat niat-niat buruk dalam jiwa.
Setelah memasuki bagian jabaan pura (halaman luar pura), wisatawan akan disambut oleh sebuah gerbang Candi Bentar berbentuk sayap burung yang melengkung.