Hanya bahasa keraton yang masih menggunakan bahasa Jawa.
Namun untuk rakyatnya, sudah menggunakan bahasa Palembang.
Cerita dan barang-barang bersejarah itu kini tersimpan di Museum Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II.
Pengunjung mengamati kain songket khas Palembang tempo dulu yang dipajang di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang. (Sriwijaya Post/Yandi Triansyah)
Jika anda berkunjung ke museum ini, banyak informasi yang bisa digali mengenai Palembang di masa lalu.
Museum SMB II merupakan bangunan eks kolonial Belanda.
Berdasarkan hasil penelitian tim Arkeologi Nasional tahun 1988, di lokasi ditemukan fondasi batu bata dari bangunan Kuto Lamo, di atas tumpukan balok-balok kayu yang terbakar.
Menurut catatan, bangunan Benteng Kuto Lamo di masa Sultan Mahmud Badaruddin I (Jayo Wikramo) resmi ditempati pada hari Senin, 29 September 1737.
Pada era kepemimpinan Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II, tahun 1821 keraton ini mendapat serangan dari Pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian dibongkar habis pada 7 Oktober 1823 atas perintah Reguring Commissaris Belanda, J. L. Van Seven Hoven.
Pemerintah kolonial ingin menghilangkan monumental Kesultanan Palembang dan balas dendam atas dibakarnya Loji Sungai Aur oleh Sultan Mahmud Badaruddin II pada tahun 1811.
Atas pendudukan Kuta Besak dan penghancuran Kuta Lama, maka konsentrasi kota berada di wilayah ini.
Pasar dan kantor-kantor berdiri di lingkungan Kuta Besak, bahkan perahu-perahu pun menjadikannya tempat berlabuh yang ideal.
Melalui bangunan inilah kolonial Belanda mengendalikan sebagaian besar wilayah Sumbagsel terdiri dari Lampung, Jambi, Bengkulu, Babel dan Palembang.
Perpaduan arsitektur Eropa dan Palembang begitu tampak dari bangunan museum ini.
Museum Sultan Mahmud Badaruddin II di Jl Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang. (Sriwijaya Post/Yandi Triansyah)
Bagian atap menggunakan limas, sedangkan bagian tangganya dinamakan Lingkung.