Tujuannya, jika ada pembeli yang datang dan bertanya, ia dapat menunjukkan perbedaan dari Kain Tenun Alam tersebut dengan kain yang menggunakan bahan kimia.
Untuk kainnya sendiri, merupakan produksi dari Desa Sidemen, Kabupaten Karangasem, Bali, tempat asal dari Dayu.
Sementara untuk pengerjaan motifnya, saat ini ia bersama para 10 pengrajin tenun asal Sidemen, tengah berfokus pada motif Batuan, Gianyar.
“Sekarang lagi mengangkat motif tenun Batuan. Kami ingin tenun Batuan ini berkembang lagi,” tambahnya.
Tidak diproduksi secara massal, itulah yang menjadi ciri khas Tenun Alam ini.
Dikarenakan proses pengerjaannya yang panjang, dan pengrajinnya pun tidak banyak.
Menurut Dayu, tidak sembarang orang bisa menjadi pengrajin tenun.
“Kalau untuk pengrajin tenun itu harus tekun dan sabar. Karena mengerjakan kain tenun ini kan lama dan prosesnya detail sekali. Harus sabar dam rajin kalau mau menenun,” ujar Dayu.
Untuk satu kain tenun alam dengan ukuran sekitar 4 meter, butuh waktu penenunan selama kurang lebih satu bulan.
Itu pun menurut Dayu hanya proses tenunnya saja.
Untuk proses awal dari pewarnaan dan pemintalan benang belum termasuk, sehingga bisa lebih lama lagi.
Harga yang ditawarkan per kain pun berbeda-beda.
Mulai dari harga Rp 6 juta, ada juga yang lebih mahal lagi dari itu, sekitar Rp 8 juta.
Menurut Dayu, harga yang dipatok tiap kain tersebut dilihat dari kerumitan motif dan juga warnanya.