Tidak memakai kompor tapi ‘pawon’ batu dengan kayu bakar. Menurut Yu Sumi bikinnya sih gampang saja. Awalnya rebus air dalam panci besar, masukin ‘tetelan’ dan semacamnya. Dulu sebelumnya menggunakan daging kambing.
Karena pindang aslinya memang menggunakan daging kambing. Namun belakangan banyak orang yang tak menyukai daging ‘prengus’ khas kambing.
Jadi Yu Sumi akhirnya menggantinya dengan tetelan sapi, yang lebih akrab diterima lidah sebagian besar orang.
Nah setelah tetelan dimasukkan dicampur dengan gaplek singkong, lalu dibumbui. Bumbunya sih umum saja seperti ketumbar, bawang, brambang, merica juga dan tak lupa dikasih daun jeruk.
“Ben ra amis Mas,” kata Yu Sumi. (Biar tak amis)
Akhirnya sekitar jam 06.55 wib aku dapet juga deh giliran. Aku pesen 10 bungkus saja pindangnya lalu ulam bacemnya 2 bungkus.
Harga pindangnya… Rp. 2000!! sebungkus … Ulam bacemnya Rp. 5000, sebungkus. Sambil membantu menstraples, lanjutlah obrolanku. Yu Sumi mengaku awalnya malu jual pindang.
“Gak ada cita-cita bakul pindang Mas,” katanya.
Dapur tradisional ala orang Wonogiri, masih pakai kayu bakar (Kompasiana/ Rahab Ganendra/ Mas Lahab)
Tapi yaaaa, karena memang factor turunan keluarga, Yu Sumi akhirnya belajar juga bikin pindang dan menjualnya.
Dulu bukan hanya dia saja yang jual, kakak-kakaknya juga jualan yang sama.
“Sakniki, mpun podho mboten wonten Mas, dados’e nggih naming kulo,” katanya dengan bahasa Jawa medhok. (Sekarang sudah tidak ada Mas – kakaknya meninggal - jadi tinggal saya yang jual). Yaaah semoga saja deh ada generasi yang mewarisi kemampuan jual pindang ini. Sayang banget kalau punah.
Kenapa pakai daun jati?
Unik dan eksotiknya, pindang ini dibungkus daun jati. Tepatnya alasnya daun jati, soalnya bagian luar memakai kertas minyak. Dulu sih, hanya pakai daun jati saja.
Soalnya dulu daun jati mudah didapat dan lebar-lebar. Sekarang di jaman kemajuan, Yu Sumi tak bisa menolak juga dengan keberadaan kertas minyak.