Rerumahan penduduk mayoritas terbuat dari kayu dan bambu. Kebanyakan penyedia layanan seluler tidak kebagian sinyal di desa ini.
Sesekali, bau menyengat peternakan sapi rumahan tercium. Disana dapat anda lihat juga ladang cabai dan bawang merah di sekitar rerumahan warga.
Jalan akan mengantarkan anda pada jembatan gantung beralaskan kayu yang sengaja dijajarkan rapih untuk menahan berat kendaraan anda. Sesi terakhir, anda dimohon bersabar memilah jalan bebatuan sebelum sampai di Kedung Cinet.
Setelah terbantu oleh beberapa tanda jalan, anda akan tiba Kedung Cinet.
Sesampai di lokasi anda tak perlu membeli tiket masuk, hanya jaminan uang parkir sebesar tiga ribu Rupiah yang perlu anda siapkan. Dan akhirnya, anda telah resmi untuk menikmati ngarai ini.
Eloknya kelokan permukaan penampang sungai telah dilengkapi dengan hijau air dan tumbuhan di kanan kiri sungai.
Suara gemercak air terdengar seperti asyik mengalir dan bergesekan dengan rongga ngarai.
Air turun bening gemericik menimpa dari batu satu ke yang lainnya. Dengan menyusuri kedung ini, anda tidak akan kehabisan tempat narsis.
Jernihnya air lubuk ini dapat anda jumpai hanya ketika musim kemarau. Jikalau kedatangan anda bersama musim penghujan, maka anda hanya bertemu keruhnya tanah dan warna coklatnya yang seakan bersenyawa.
Persawahan hijau di sekitar jalan menuju Kedung Cinet di Jombang
Lubuk ini konon menjadi tempat peristirahatan prajurit dan dayang istana Kerajaan Majapahit.
Konon menjadi konon, tak jarang lubuk ini dijadikan ruang tunggu bagi prajurit Majapahit yang sedang menantikan kekasihnya.
Ngarai ini semakin eksis dalam beberapa tagar #explorejombang di media sosial.
Kuantitas pengunjungnya mulai tercermin sedari anda memasuki parkiran motor yang mulai membeludak.
Di akhir tulisan ini, saya hanya berharap agar jumlah sampah tidak berkorelasi positif dengan jumlah penikmat Kedung Cinet.
(Kompasiana.com/ M Rudi Kurniawan)