Mendengar semboyan di atas, orang Banjar sudah hafal jika itu milik Pangeran Antasari. Semboyannya ini sekarang dijadikan nama sebuah museum perjuangan rakyat Kalimantan Selatan, yaitu Museum Waja Sampai Kaputing (Wasaka) di Banjarmasin.
Berdasarkan sejarahnya, Pangeran Antasari adalah seorang bangsawan pewaris tahta Kerajaan Banjar.
Namun dia sejak lahir hingga wafat tak pernah hidup di istana karena dia merupakan pangeran yang terbuang disebabkan konflik politik internal di Kerajaan Banjar.
Kakek buyutnya, Sultan Aminullah yang menjabat sebagai Raja Kerajaan Banjar wafat, meninggalkan tiga putra yang masih cilik.
Saudara sang sultan, yaitu Pangeran Natanegara dipercaya sebagai wali ketiga pangeran cilik ini.
Tragisnya, dua dari tiga pangeran cilik itu tewas secara misterius, sementara satu lagi selamat dan melarikan diri ke Pagatan, yaitu Pangeran Amir.
Setelah itu, Pangeran Natanegara naik tahta bergelar Sultan Sulaiman Saidillah.
Pangeran Amir memiliki anak bernama Pangeran Mas'ud. Pangeran Mas'ud ini adalah ayah kandung Pangeran Antasari.
Pangeran Amir bersama putranya melawan pemerintahan Sultan Sulaiman Saidillah yang berkongsi dengan Belanda hingga akhirnya dia dan putranya dibuang ke Srilangka. Selanjutnya, perjuangan mereka dilanjutkan oleh Pangeran Antasari.
Pemakaman Pangeran Antasari di Banjarmasin, Kalsel. (Banjarmasin Post/Yayu Fathilal)
Sebelumnya, Pangeran Antasari bukanlah tokoh ternama.
Saat itu kondisi politik di Kerajaan Banjar benar-benar kacau sehingga Belanda memiliki peluang besar mengambil keuntungan untuk menguasai Tanah Banjar dengan berbagai cara. Hal ini membuat rakyat memberontak.
Pemberontakan rakyat terpecah alias tak bersatu. Berkat tangan dingin dan taktik jitu Pangeran Antasari, kekuatan rakyat berhasil dihimpun untuk bersatu melawan Belanda.
Kekuatan pasukan Pangeran Antasari saat itu sangat berbahaya dan selalu dicurigai pihak kerajaan maupun Belanda.
Pengaruh Pangeran Antasari begitu luas hingga merambah kalangan ulama yang sebelumnya tidak pernah berperang di medan perang.