Dipanggung utama dihelat atraksi seni daerah sekaligus pemutaran film perjalanan Museum Aceh. Di sudut lain di arena museum berjejer stan yang menyuguhkan seni kriya seperti menyulam dan melukis serta seni boga berupa parade makanan tradisional.
Di sini pengunjung tak hanya menyaksikan koki dan pengrajin berkreasi, tapi juga bisa mencoba sendiri.
Jangan lewatkan kesempatan merasakan atmosfir Aceh tempu dulu yang disuguhkan panitia acara. Menginjak lantai satu kita diajak memasuki Bustanul bumi atau bentang alam Aceh dengan semua potensi yang ada di dalamnya.
Lanjut ke lantai dua kita diajak merasakan kemashuran Aceh masa silam yang diberi tajuk Bustanul Salatatin. Menapaki lantai tiga kita memasuki Bustanul Syuhada yang berarti tempat para pahlawan dan peralatan perang disimpan.
Semangat juang itu dikobarkan oleh foto para pahlawan seperti Ratu Perang Cut Nyak Dhien, pemimpin armada laut perempuan Laksamana Malahayati, serta hikayat perang sabi yang mengobarkan semangat tempur para pejuang Tanah Rencong yang dikenal agresif. Rencong, tombak, dan senjata tradisional lainnya menjadi pennghuni utama Bustanul Syuhada.
Di lantai 4 kita memasuki era kemerderkaan yang disiarkan oleh Radio Rimba Raya yang berpusat di dataran tinggi Aceh yang menjadi cikal bakal lahirnya RRI.
Serta laskar mujahidin yang bermetamorfosis menjadi TNI. Tak ketinggalan miniatur pesawat RI pertama yang disumbang Aceh dan menasbihkannya sebagai daerah modal.
Mementahkan klaim Belanda yang berkoar-koar telah menaklukkan nusantara. Aceh sudah memberikan putra putri terbaik dan semua yang dipunya kepada ibu pertiwi. Museum Aceh ibarat ‘mesin waktu’ yang memutar jejak rekam sejarah. Sebuah ‘brankas memori’ yang tak termakan waktu.