Menurut penuturan masyarakat setempat, diyakini bahwa suku tengger adalah keturunan Roro Anteng, yaitu seorang putri dari raja Majapahit dan Joko Seger, yaitu putera seorang brahmana.
Bahasa daerah yang mereka gunakan sehari hari adalah bahasa Jawa Kuno. Mereka tidak memiliki kasta bahasa, sangat berbeda dengan bahasa Jawa yang dipakai umumnya dengan tingkatan bahasa.
Asal mula nama suku Tengger diambil dari nama belakang Rara Anteng dan Jaka Seger.
Keduanya membangun pemukiman dan memerintah di kawasan Tengger ini kemudian menamakannya sebagai Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger atau artinya “Penguasa Tengger yang Budiman”.
Sebelum Upacara Kasada Bromo dilangsungkan, calon dukun dan tabib akan menyiapkan beberapa sesaji untuk dipersembahkan dengan cara melemparkannya ke kawah Gunung Bromo.
Persembahan sesajen ini dilakukan beberapa hari sebelum upacara. Mereka juga harus melalui tes pembacaan mantra terlebih dahulu saat upacara berlangsung sebelum dinyatakan lulus dan diangkat oleh tetua adat.
Peran dukun atau tabib badi suku Tengger sangat kuat karena dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan masalah yang dialami oleh masyarakatnya. Tabib ini dapat melafalkan mantra-mantra kuno Hindu.
Suku Tengger adalah pemeluk agama Hindu lama dan tidak seperti pemeluk agama Hindu umumnya yang memiliki candi-candi sebagai tempat peribadatan.
Untuk melakukan peribadatan maka mereka akan melakukannya di punden, danyang dan poten.
Poten sendiri merupakan sebidang lahan di lautan pasir di kaki Gunung Bromo sebagai tempat berlangsungnya upacara Kasada. Poten terdiri dari beberapa bangunan yang ditata dalam suatu komposisi di pekarangan yang dibagi menjadi tiga mandala.
Tepat pada malam ke-14 bulan Kasada, suku Tengger akan beramai-ramai membawa sesajen berupa hasil ternak dan pertanian ke Pura Luhur Poten dan menunggu hingga tengah malam saat dukun ditasbihkan tetua adat.
Berikutnya, sesajen yang disiapkan dibawa ke atas kawah gunung untuk dilemparkan ke kawah sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang.
Bagi suku Tengger, sesaji yang dilembar ke Kawah Bromo tersebut sebagai bentuk kaul atau rasa syukur atas hasil ternak dan pertanian yang melimpah.
Di dalam kawah ternyata telah menunggu banyak pengemis dan penduduk tengger yang tinggal di pedalaman.