Lalu apa yang istimewa di warung makan ini. Bagi penyuka masakan tradisi anda akan jatuh hati tidak hanya dengan citarasa yang disajikan tapi juga tampilan yang begitu memukau.
Mengapa demikian? Sebab saat anda memesan satu porsi nasi pecel, anda akan dihadapkan dengan satu porsi besar nasi pecel dalam balutan daun pisang di atas piring.
Daun pisang? Iya daun pisang. Terbayang kan, bagaimana tradisionalnya.
Nasi putih hangat yang masih mengepul, pecel yang disiram dengan bumbu kacang yang lezat.
Aroma yang dihadirkan amat menggugah selera.
Apalagi sang empu warung rupanya tidak main-main dengan bumbu kacangnya, rasa kencur dan segar perasan jeruk melebur jadi kesatuan rasa yang luar biasa.
Jika sudah begini, yang terlintas di benak adalah lezatnya nasi pecel yang dijajakan ibu-ibu sudah sepuh saat kita menumpang kereta Matarmaja ke Malang.
Menu sederhana yang dimasak penuh cinta. Apalagi yang bisa kita dustakan dari kelezatan ini.
Sayuran yang digunakan pun cukup umum, daun singkong, daun bayam, tauge.
Semuanya direbus dengan pas, sayuran masih terlihat hijau, namun tidak alot saat disantap.
Tidak lupa, dalam porsi ini juga ditaburkan pecahan rempeyek sebagai pelengkap.
Nah untuk menemani nasi pecel, Tribun menyerankan untuk memesan teh sebagai minuman.
Baik es the atau the hangat. Teh yang digunakan disini adalah the yang didatangkan langsung dari Jawa.
Rasanya? Teh beraroma melati yang cukup kuat dengan manis dari gula batu. ahh, merujuk kata pak Bondan, ini maknyusss.