Sajian yang berasal dari Ubud, Gianyar ini, mulanya dimasak dengan cara yang masih konvensional dengan upih lalu dimasukkan ke tungku yang masih terdapat abu panas dan didiamkan selama semalaman.
Pes wong dan lawar nangka (Tribun Bali/ Ayu Dessy Wulansari)
“Yang kami lakukan di Rasala Bistro untuk betutu adalah dengan cara di-roast dengan temperatur hanya 180 deracat celcius. Proses memasaknya sekitar empat jam,” ujar Mike yang pernah mengenyam pendidikan di Le Cordon Bleu Paris, Prancis.
Rasa yang autentik tanpa mengubah bahan atau bumbu pada masakan Bali tentu menjadi hal baru yang dicoba oleh tamu, terutama tamu asing.
Untuk mengantisipasi itu, di buku menu sudah tertulis penjelasan tentang hidangan yang ada.
Selain itu chef atau host akan mendatangi tamu dan menjelaskan tentang masakan Bali.
“Kami selalu bilang travel is about exchanging experience. So, tidak ada makanan yang enak atau pun tidak enak. Yang ada yaitu pengalaman baru. Kami tekankan bahwa, if you want to going for the authenticity, if you want to get the real experience of travelling, then you have to eat like local,” katanya.
Mike menambahkan, setiap tamu yang mencicipi masakan tradisional Bali di Rasala Bistro, pihaknya selalu mengucapkan rasa terima kasih dan mengapresiasi tamu mereka karena mau menjaga dan melestarikan kuliner yang juga menjadi budaya di Bali.
“Dengan begitu dia tahu sudah membantu untuk mempertahankan budaya kuliner yang adiluhung. Itu terus disampaikan ke mereka, dan kami afirmasi kepada para tamu bahwa this is worth it untuk dikembangkan menjadi budaya dunia,” ujarnya.
Kapasitas Rasala Bistro menampung maksimal 20 tamu.
Untuk jam operasional mulai pukul 18.00-23.00 Wita.
Hidangan Lima Masakan Secara Bergantian
Rasala Bistro bisa menampilkan hidangan yang berbeda setiap hari.
Memiliki lima masakan yang dihidangkan secara bergantian.
Setiap hidangan pertama habis disantap, hidangan berikutnya dibawakan lagi sampai ke hidangan penutup.