”Jadi, secangkir kopi itu sangat berarti untuk pendidikan mereka. Tetapi, kami tak sepenuhnya berorientasi ke bisnis murni sehingga misi pendidikannya hilang,” kata Deni.
Melcosh, dikatakan Deni, dirancang sebagai semacam lounge, kedai santai, bukan rumah makan formal.
Bukan dirancang sebagai tempat orang datang, makan, dan kenyang. Kedai dirancang sebagai arena tempat orang bisa bercerita kepada kawan, saudara, pacar, atau siapa pun. Atau tempat bermenung-menung.
”Jadi lebih sebagai tempat refleksi emosional, personal. Orang menjadi terhubungkan dengan orang lain,” kata Deni.
Berjarak lebih dari 20 kilometer dari kota, tak menghalangi warga ”Kota Gudeg” untuk ngupi-ngupi ke Melcosh.
Suatu malam, misalnya, dua warga Pakualaman meluncur ke Melcosh untuk menjamu rekan-rekannya yang penikmat kopi.
Sambil mengobrol ngalor-ngidul mereka menikmati cold brew, kopi dingin yang ternyata berkenan di lidah tamu yang mengaku tidak biasa ngopi itu.
Deni menceritakan, ada sejumlah pelanggan yang datang untuk duduk berlama-lama membaca buku, atau menulis, menikmati secangkir kopi, dan makanan ringan.
”Ada juga orang datang berlama-lama di sini, tetapi enggak pesen-pesen. Kalau orientasi hanya profit, kami mungkin akan rugi. Tapi, orang seperti mereka itu datang ke sini dan mendapatkan inspiring moment. Hal itu jauh lebih memuaskan kami karena itulah tujuan kami,” kata Deni. (XAR)