Program ini pukul 14.15-15.15 Wita.
Kemudian ada Morning Workshop Program dengan durasi waktu dua jam, mulai pukul 9.45-11.45 Wita.
Di sini, partisipan selain belajar membentuk tembikar di atas alat pemutar, juga akan belajar dekorasi dengan desain tradisional Bali hingga ke tahap pelapisan.
Sementara Sunset Workshop Program yang berdurasi tiga jam, mulai pukul 13.15-16.15 Wita, partisipan akan membuat keramik hingga ke tahap pembakaran.
Selain untuk menarik minat wisatawan, tujuan ditawarkan paket ini adalah untuk branding Desa Pejaten sebagai tempat kerajinan keramik.
Menurut Putu, saat ini perajin keramik semakin berkurang, karena kendala bahan baku yang makin langka.
Untuk memproduksi keramik di Tanteri Ceramic ini, perlu mengolah dan mendatangkan tanah putih dari Malang.
“Dari Malang pun bisa ada bisa juga tidak ada. Kami sudah mencoba menyusun proposal untuk membuat tanah bersama, sudah lima tahun proposal ini ke pemerintah provinsi tapi belum ada respon. Akhirnya para perajin makin lama makin berkurang, lama-lama tidak ada lagi perajin keramik,” ujar Putu.
Sebelumnya ada sekitar 150 perajin keramik yang aktif berproduksi di Desa Pejaten.
Namun hingga kini semakin sedikit yang tersisa.
Sejarah keramik di Desa Pejaten tidak lepas dari kerajinan gerabah sebagai pendahulunya.
Dahulunya masyarakat di sini memroduksi tembikar sebagai barang keperluan sehari-hari dan kepentingan upacara.
Kemudian bergeser menjadi pembuatan genteng press dan di tahun 80-an, mulai memproduksi keramik.
“Ini berkaitan dengan sejarah awal desa. Dulunya masyarakat hidup dari kerajinan gerabah. Hingga kemudian masuk barang-barang plastik, kerajinan gerabah atau tembikar ini ditinggalkan. Bergeser pada pembuatan genteng press yang dibutuhkan oleh hotel-hotel. Namun karena stok tanah yang berkurang, Pak Tanteri mencari ide dan merintis keramik di tahun 1984,” ujar Putu.