"Belanda itu marah, lalu menyuruh warga untuk memotong tiang beduk itu. Karena tiangnya dipotong, lalu beduknya digantungkan saja dengan rantai hingga sekarang," ujarnya.
Tak hanya itu, ternyata masjid ini menyimpan prasasti yang menerangkan tentang kunjungan dua tokoh ternama dalam sejarah Indonesia di zaman pemerintahan presiden Soekarno.
Keduanya adalah mantan Perdana Menteri Indonesia, Mohammad Natsir dan mantan wakilnya, Mohammad Roem ke Desa Wasah Hilir.
Mereka kemari untuk rapat dengan tokoh-tokoh masyarakat Kandangan dalam rangka perjuangan melawan penjajah Belanda.
"Mereka rapatnya di Gedung Musyawarah dekat masjid ini. Peristiwa itu diabadikan di prasasti di halaman masjid ini," paparnya.
Prasasti itu, tak sekadar berfungsi sebagai prasasti, namun juga sebagai jam matahari atau oleh warga setempat disebut jidar.
Jam tersebut digunakan untuk mengetahui waktu salat.
"Orang zaman dulu kan nggak ada jam seperti sekarang ini. Jadi, untuk mengetahui waktu salat hanya mengandalkan pergerakan matahari dan posisi bayangan benda," katanya.
Di pucuk prasasti itu ada sebatang besi ditancapkan sebagai tolak ukur bayangan benda.
Di bawahnya ada ukiran gambar yang mirip dengan arah mata angin untuk melihat posisi jatuhnya bayangan besi yang terpapar sinar matahari.
"Jadi, kalau bayangan besi di posisi tertentu, bisa dipastikan itu sudah masuk salat apa. Misalnya di posisi ini berarti sudah pukul 12.00 Wita dan ketika bayangan lewat sedikit, berarti pukul 12.04 Wita, artinya sudah masuk waktu salat zuhur," terangnya sambil jarinya menunjuk ke posisi tertentu di jam matahari itu.
Waktu tersebut ternyata sangat akurat dari dulu.
Ketika posisi bayangan tegak berarti matahari tepat di tengah, jika dipaskan dengan jadwal salat modern ternyata selalu pas dan akurat.
"Misalnya di jadwal salat yang sekarang ini waktu salat zuhur pukul 12.04 Wita, dicocokkan dengan jam matahari ini, selalu tepat posisi bayangannya pas pukul 12.04 Wita adalah waktunya salat zuhur. Dari dulu nggak pernah terselisih waktunya," jelasnya.