Laporan Wartawan Tribun Jogja, Hamim Thohari
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Malam itu di salah satu sudut Kota Yogyakarta, tepatnya di jalan Brigjend Katamso, terlihat sebuah emperan bengkel ramai orang.
Mereka bukannya akan memperbaiki kendaraan, melainkan ingin menikmati makanan yang dijual oleh seorang perempuan paruh baya.
Di emperan bengkel bernomor 111 tersebut, Suparti (58) setiap malamnya menjajakan makanan yang akan sulit anda temukan di tempat lain, yakni sego koyor.
Sego koyor Bu Parman. (Tribun Jogja/Hamim)
Di Yogyakarta sendiri, hanya di tempat ini anda bisa menemukan makanan yang satu ini.
Maka tidak heran jika bagi sebagian orang kuliner ini cukup asing di telinga.
Suparti sendiri adalah generasi kedua penjual sego koyor.
"Dulu yang pertama jualan adalah ibu saya yang bernama Bu Parman. Beliau mulai berjualan sego koyor sejak tahun 1968," cerita Suparti.
Sebelum berjualan di jalan Brigjend Katamso, Bu Parman berjualan di terminal yang pertama kali ada di Yogyakarta, yang saat ini tempatnya digunakan untuk Taman Pintar.
Sego koyor sendiri adalah kuliner berupa urat sapi yang disajikan bersama nasi putih.
A photo posted by Diah Heriaji (@deeheriaji) on Jan 1, 2016 at 6:25am PST
"Selain sego koyor, banyak juga pelanggan yang menyebutnya sego urat," ungkap Suparti.
Urat sapi yang digunakan dalam hidangan ini adalah urat yang ada di sekitar persendian tulang sapi.
Diungkapkan Suparti, bagian tersebut dimasak dengan bumbu menyerupai gulai dengan kuah santan yang tidak terlalu kental.