Berbeda halnya dengan para perajin arguci ini, karena itu sudah pekerjaan harian mereka, tangan-tangan mereka sudah sangat terampil menulis kaligrafi Arab di sehelai kain arguci.
"Kalau takut salah biasanya kami meminta bantuan ke kenalan atau keluarga kami yang sekolah di pesantren. Biasanya mereka bisa menulis kaligrafi," paparnya.
Di busana pengantin, biasanya motifnya berbeda lagi.
Biasanya lebih ke simbol-simbol tradisional Banjar seperti naga dan halilipan atau kaki seribu.
Sementara untuk hiasan dinding bisa bermotif kaligrafi Arab bisa juga tumbuhan atau bunga.
Untuk hiasan dinding ini, harganya berkisar ratusan ribu rupiah.
Lama pembuatannya bisa mencapai seminggu, bahkan lebih.
Maklum saja, pengerjaannya masih secara manual.
Untuk manik atau payetnya mereka beli dari pasar-pasar di sekitar Martapura.
Demikian pula dengan kainnya.
Perajin arguci lainnya yang ada di desa ini, Nurliani, mengatakan kain arguci haruslah beludru karena tebal dan mudah disulami payet-payet sehingga arguci akan tampak lebih bagus.
Bahkan, busana raja Banjar di masa lalu biasanya berbahan beludru juga bersulam arguci.
Namun seiring dengan perkembangannya sekarang, banyak juga arguci beralas kain lain selain beludru, yaitu kinu yang permukaannya licin, lebih tipis serta ringan daripada beludru.
Sulaman arguci ini sekarang kerap juga dijumpai di perabotan rumah tangga seperti tempat tisu, bantal sofa, taplak meja, dan sebagainya.
Untuk motif argucinya tentu saja tidak berupa ayat-ayat Alquran atau lafaz Allah dan Muhammad, tetapi lebih kepada gambar bunga atau tanaman yang merupakan motif pakemnya. (Yayu Fathilal)