Oleh Neta S Pane, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW)
TRIBUNNEWS.COM - 1 Juli 2011, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) merayakan hari jadinya ke-65. Bagaimana kinerja Polri selama setahun terakhir ini? Apa ukuran yang pas untuk mengatakan bahwa Polri sudah berhasil dalam melaksanakan tugasnya? Dan apa pula ukurannya, jika dikatakan Polri belum berhasil.
Ini suatu pertanyaan mendasar dalam HUT Polri 2011, di mana Kapolri, Jenderal Pol Timur Pradopo baru delapan bulan menjabat.
Memang tidak mudah membuat ukuran yang pas untuk mengukur keberhasil Polri dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan, pengayom, dan pelindung masyarakat.
Semaksimal apapun kerja yang dilakukan Polri, pasti selalu saja ada pihak-pihak yang merasa tidak puas. Tapi setidaknya, ukuran yang bisa dilakukan ada empat poin.
Pertama, sejauhmana fungsi pengawasan dari atas terhadap bawahan berjalan konsisten, sehingga kinerja bawahan tidak sewenang-wenang dan terkontrol.
Kedua, sejauhmana atasan tidak menjadikan bawahan sebagai objek untuk memenuhi kepentingan pribadi atasan. Ketiga, tidak ada lagi keluhan masyarakat bahwa mereka dipungli polisi, baik di jalanan, di kantor maupun di pusat-pusat pelayanan.
Keempat, komponen-komponen masyarakat menyatakan puas terhadap pelayanan yang dilakukan polisi.
Secara teori keempat poin ini mudah dikatakan, tapi praktiknya susah diterapkan. Sehingga tolok ukur yang paling realistis adalah, setidaknya masyarakat melihat ada kemauan yang kuat dari seluruh jajaran kepolisian bahwa mereka memang mau berubah dan masyarakat merasakan adanya proses yang signifikan menuju perubahan tersebut.
Diingatkan Terus
Dari berbagai analisa para pakar, pilihan menjadikan Polri semakin profesional tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sebab, memiliki polisi sipil yang dicintai rakyat dengan segudang keahlian adalah sebuah harapan masyarakat madani. Walaupun, secara realistis dan faktual, tampaknya masih jauh dari harapan. Namun proses menuju kesana harus segera dilakukan Polri.
Dalam teori modern di mana demokratisasi menjadi pedoman masyarakat madani, alat utama kepolisian bukanlah senjata api atau water cannon melainkan adalah sikap simpati masyarakat. Polri yang profesional adalah sejauhmana Polri menjadi sahabat masyarakat dan selalu mendapat simpati masyarakat.
Jika masyarakat sudah bersimpati pada Polri maka masyarakat akan ringan tangan membantu polisi dalam menciptakan situasi yang kondusif. Untuk melahirkan polisi sipil yang profesional, Polri memang masih harus bekerja lebih keras lagi, tentunya dengan sikap yang konsisten dan satu kata dan perbuatan.
Meski klise dan sloganistis, jajaran kepolisian harus terus menerus diingatkan bahwa tugas utama Polisi adalah Melindungi, Mengayomi dan Melayani. Setidaknya, ini sesuai dengan semboyan Tribrata.
Pertanyaannya kemudian sejauh mana polisi sudah melaksanakan tugas itu?
Tentunya masyarakat berharap melindungi, mengayomi, dan melayani tidak hanya sebatas slogan. Meski masih banyak masyarakat yang belum merasakan tindakan konkrit jajaran Polri dari slogan itu.
Masih ada masyarakat yang mengeluhkan sikap, prilaku, dan kinerja Polri. Bahkan, Transparansi Internasional Indonesia (TII) pernah menyebutkan Polri sebagai lembaga terkorup di negeri ini. Bagaimana pun tudingan itu sebuah pukulan yang harus dihadapi Polri dengan kerja keras untuk memperbaiki diri.
Pembenahan
Jika kita perhatikan, kondisi terakhir Polri memang terus melakukan pembenahan. Dari sudut pembangunan kekuatan misalnya, Polri berupaya melengkapi berbagai infrastruktur, sarana, dan prasarana.
Begitu juga penambahan personil, secara perlahan tapi pasti terus dilakukan. Saat ini jumlah personil Polri mencapai 400.000 orang. Jumlah ini memang belum ideal. Belum sesuai rasio PBB, 1: 500. Perbandingan antara Polri dan Masyarakat saat ini 1 : 1750.
Kondisi ini pastilah membuat berbagai kendala bagi Polri. Kendala itu antara lain, dari sudut pencitraan belum banyak berubah, Polri masih dalam posisi terpojok. Penyelesaian kasus yang dilakukan Polri dari tahun ke tahun nyaris sama. Rata-rata 40-50 persen untuk tindak kriminal dan 10 persen untuk pencurian kendaraan bermotor.
Padahal dari sisi anggaran, sejak 10 tahun terakhir, Polri mengalami kenaikan hampir 1.000 persen, sementara TNI hanya 450 persen. Bahkan tahun 2011 ini Polri mendapat remunerasi.
Pertanyaannya kemudian, apakah Rasio Polri Masyarakat yang tidak memadai merupakan kendala akut? Sementara, proses untuk mencapai rasio ini masih panjang dan lama karena butuh kenaikan anggaran yang luar biasa. Sebab itu, rasio bisa menjadi "bukan sesuatu yang penting", jika Polri benar-benar memainkan fungsinya sebagai pindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.
Dengan konsep Polmas, Polri bisa menjaga situasi kamtibmas dengan dibantu masyarakat. Ini bisa dilakukan, jika masyarakat merasa nyaman berhubungan dengan Polri. Tanpa itu, tentu Polri akan terus menghadapi berbagai kendala keterbatasan dan terjebak dalam ketidak berdayaan, sementara tantangan ke depan kian berat.
Tantangan
Beberapa waktu lalu Kapolri Jenderal Timur Pradopo mengatakan, tantangan Polri ke depan adalah memberantas mafia hukum dan anarkisme. Namun dalam analisa kami di Indonesia Police Watch (IPW), selain kedua tantangan yang disebutkan Kapolri tadi, masih ada dua tantangan berat lainnya. Hal ini akan menjadi tantangan yang harus dihadapi Polri ke depan.
Tantangan itu adalah, tantangan Internal dan eksternal. Internal adalah menyangkut sejauhmana Polri dapat mengubah mindset jajarannya, mulai dari atas hingga ke bawah. Jajaran atas harus mau bersikap realitis dan tidak membebani bawahan. Satu kata dengan perbuatan.
Dalam hal proyek-proyek pengadaan misalnya, jangan lagi berorientasi pada komisi. Jajaran bawah harus di tingkatkan sikap profesionalismenya, meningkatkan latihan, kepekaan dan mengubah sikap, prilaku, dan kinerjanya.
Kasus penembakan polisi di Bekasi yang belum terungkap hingga sekarang merupakan satu bukti aparat bawah Polri ceroboh dan kurang latihan dalam menghadapi situasi mendadak. Seharusnya, polisi menembak keempat ban mobil pelaku agar mobil tersebut tidak dapat melarikan diri. Tapi akibat ceroboh dan kurang kepekaan, hal itu tidak dilakukan. Padahal jika dilakukan mobil tersebut akan menjadi petunjuk untuk membekuk pelaku penembakan.
Dalam hal eksternal, tantangan Polri tidak hanya memberantas mafia hukum dan anarkisme, tapi kejahatan kerah putih, kejahatan koorporasi, pencucian uang, dan korupsi. Semua ini harus menjadi fokus utama Polri.
Tantangan Polri akan semakin berat dengan munculnya berbagai jenis kejahatan baru yang sifatnya transnasional, seperti terorisme, narkoba, pembajakan, kejahatan ekonomi, kejahatan kerah putih, perdagangan atau penyeludupan anak dan wanita juga penyeludupan senjata. Sejauh mana mampu Polri mengatasi ini?
Dalam hal menangani aksi-aksi kejahatan ataupun ancaman gangguan keamanan Polri masih bersikap sebagai pemadam kebakaran. Dengan cara-cara seperti ini akan, Polri tentu akan sulit mengatasi masalah yang ada. Seharusnya Polri meningkatkan fungsi prefentif dan pencegahan, dengan mengdepankan strategi deteksi dini.
Hal ini harus dilakukan dengan memaksimalkan polsek sebagai garda terdepan dan intelijen sebagai telinga kepolisian. Sehingga kasus-kasus di atas tidak muncul atau tidak berkembang luas dan bisa cepat diantisipasi.
Intinya, ke depan jajaran Polri perlu benar-benar serius mengubah mindset, meningkatkan kepekaan, senantiasa waspada, melatih diri secara prima, dan memaksimalkan konsep Polmas hingga terbangun kemitraan yang solid antara Polri dan masyarakat. Semoga saja. Dirgahayu Polri.
Tak lupa, IPW mengucapkan DIRGAHAYU POLRI, selamat ulang tahun ke-65.